Minggu, 19 November 2017

20.55 - 2 comments

Kalendere dan Batiang; Aktifitas Masyarakat Sangihe dan Penanggalannya

Dalam kosa kata bahasa Sangir terdapat kata 'kalendere'. Kalendere atau almanake ini sering muncul dalam percakapan masyarakat Sangihe. Masyarakat umum ketika mendengar dua kata ini dalam pembicaraan masyarakat Sangihe pasti langsung paham. Kalendere dan almanake adalah dua contoh kata serapan bahasa Sangir dari bahasa Indonesia. Masyarakat Sangihe saat menyerap kosa kata dari bahasa Indonesia cenderung hanya menambahkan vokal E di akhir kata yang huruf akirnya konsonan. Seperti contoh di atas; kalender jadi kalendere, almanak jadi almanake. Jika huruf akhir kata itu adalah bunyi sengau atau nasal seperti N, cukup menambahkan G di belakangnya, jadilah 'telepong' dari kata 'telepon'. Tertarik belajar bahasa Sangir? Jika yah, maaf, kali ini saya tidak mengulas tentang pembentukan kata serapan dalam bahasa Sangir. Mungkin lain kesempatan. Kali ini kita bahas tentang kalendere alias almanake dan Batiang, penanggalan masyarakat Sangihe dahulu.


Bisa dipastikan, pengenalan tentang kalender ini pada masyarakat Sangihe dahulu adalah buah pekerjaan dari misionaris dalam penyebaran agama Kristen di wilayah Sangihe. Pengenalan ini sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat Sangihe kala itu, bahkan hingga saat ini. Dahulu masyarakat Sangihe masih menggunakan penanggalan secara tradisional.Penanggalan itu disebut BATIANG.

Kalender yang dikenalkan misionaris ini adalah kalender atau almanak Gregorian.  Kalender Gregorian adalah kalender masehi yang ditetapkan Paus Gregorius XIII pada tahun 1582. Merupakan koreksi atas kalender Julian yang berlaku sejak 47SM.  Demikian penjelasan kalender Gregorian yang disadur dari Wikipedia. Dua belas nama bulan pada kalender Gregorian yaitu; Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember.

Kalender Solar atau kalender Surya adalah sistem penaggalan yang berdasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari. Kalender Solar ini di Sangihe dikenal dalam pembagian hari dalam seminggu, yakni; Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Dalam bahasa Sangir (perhitungan dimulai dari Senin – Minggu) dikenal: Mandake, Salasa, Areba, Hamise, Sambaiang, Kaehe, Misa.

MASYARAKAT SANGIHE
Sebagai masyarakat yang keseharianya hidup dengan hasil laut dan bertani, masyarakat Sangihe sejak dahulu telah mempelajari keadaan alam. Hal ini demi mendukung aktivitas mereka, baik di darat maupun di laut. Keadaan alam atau fenomena alam ini telah mereka tandai, sehingga membentuk suatu penanda yang menjadi patokan bagi mereka saat beraktifitas. B
enda-benda langit merupakan patokan paling umum yang diamati oleh masyarakat dahulu suku Sangihe.
Memperhatikan benda-benda langit seperti bintang, bulan, dan matahari menjadi dasar mereka dalam menentukan Batiang. Batiang adalah sistem penanggalan masyarakat Sangihe dahulu. Batiang adalah buah pengetahuan nenek moyang suku Sangihe tentang peredaran benda-benda langit.
Sistem penanggalan Batiang sama dengan penaggalan sistem lunar. Sistem penanggalan Batiang merupakan sistem penanggalan yang didasarkan atas fase perhitungan bulan. Setiap hari dalam penanggalan batiang menandakan satu lokasi bulan dalam berevolusi terhadap bumi. Sistem penanggalan Batiang murni mendasarkan perhitungannya pada fase bulan. Kalender yang murni mendasarkan perhitungan pada fase bulan juga ada
lah kalender Hijriyah dan kalender Jawa Islam.
Kesamaan sistem Batiang dan kalender lunar terletak pada perhitungan harinya, yakni 15 hari lalu dikali dua dalam sebulan. Dua belas bulan dalam setahun, penamaannya memperhatikan posisi bintang. Di Sangihe wilayah Siau, perhitungan Batiang dalam sebulan tepat 15 sebutan, lalu dihitung lagi dengan perbedaan purnama gelap dan purnama terang. Purnama merupakan bulan ke 15. Urutannya yakni:
1. Sai
2. Ehe
3. Tulrude
4. Penetakeng Lese
5. Panginsueng lese
6. Harese
7. Au
8. Anga
9. Letu
10. Naurio
11. Naurakele
12. Pangumpia
13. Pause
14. Limangu
15. Teping
Hal ini berbeda dengan di wilayah Sangihe (banua lawo), penamaanya genap hingga 30 fase bulan dalam sebulan. Informasi dari Rendy Sasela, penamaannya yakni:
1. Kahumata Pakesa
2. Kahumata Karuane
3. Kahumata Katelune
4. Sehang U Harese
5. Batangeng u Harese
6. Likudu Harese
7. Sehang u Letu
8. Batangeng u Letu
9. Likudu Letu
10. Awing
11. Sahang u pangumpia
12. Batangeng u pangumpia
13. Umpause
14. Limangung bulrang
15. Teping (purnama)
16. Sai Pakesa
17. Sai karuane
18. Sai katelune
19. Sehang u Harese
20. Batangeng u Harese
21. Likudu Harese
22. Sehang u Letu
23. Batangeng u Letu
24. Likudu u Letu
25. Awang
26. Sehangu Pangumpia
27. Batangeng u Pangumpia
28. Umpause
29. Limangu Basa
30. Tekalre
Tentang nama bulan (waktu) dalam setahun, masyarkat Sangihe juga telah menamainya sesuai pengamatan posisi bintang. Informasi dari Rendy Saselah, ada dua versi penamaan tersebut. Versi pertama:
1. Hiabe (Januari),
2. Kateluang (Februari),
3. Kaemba (Maret),
4. Pahuru (April),
5. Hampuge (Mei),
6. Hente (Juni),
7. Bulawa Kadodo(Juli),
8. Bulawa Geguwa (Agustus),
9. Bowone (September),
10. Liwuge (Oktober),
11. Lurange (November), dan
12. Lurangu Tambaru (Desember).

Versi kedua:
1. Hiabe (Desember-Januari),
2. Kateluang (Januari-Februari),
3. Pahuru (Februari-Maret),
4. Kaemba (Maret-April),
5. Hampuge (April-Mei),
6. Hente (Mei-Juni),
7. Ake Mawira Kadio (Juni-Juli),
8. Ake Mawira Geguwa (Juli-Agustus),
9. Liwuge (Agustus-September),
10. Bewene (September-Oktober),
11. Lurange (Oktober-November), dan
12. Tambaru (Desember-Januari)

Perubahan bulan di langit dan bulan (waktu) telah ditandai dan dipercaya masyarakat Sangihe memiliki hubungan dengan musim dan pengaruh terhadap melaut dan bercocok tanam. Di Siau, masyarakat percaya bahwa saat paling tepat menebang pohon atau bambu untuk keperluan perabot dan bahan bangunan adalah pada saat bulan (bulrang) Harese. Meski demikian, di saat itu mereka juga memperhatikan pasang surut air laut. Lebih tepat saat menebang pohon dan bambu dengan maksud di atas adalah saat bulrang harese dan air laut saat surut. Mereka percaya kayu akan lebih tahan lama. Secara umum bulan yang baik untuk melakukan aktivitas untuk bercocok tanam juga aktivitas pekebunan lainnya adalah pada saat bulrang pangumpia. Pada bulrang pangumpia ini juga masyarakat Siau percaya adalah waktu yang tepat untuk ‘menumandihe balre’ (meletakan empat batu di empat sudut rumah pada saat membangun rumah).
Pada waktu bulrang harese, cuaca cenderung berubah. Angin biasanya bertiup dan akan turun hujan. Karena cuaca tidak menentu, masyarakat Siau percaya bahwa tidak baik kalau mengadakan hajatan pada saat bulrang harese. Bulrang ehe dipercaya masyarakat bahwa ular akan cenderung keluar dari tempatnya. Masyarakat setempat harus berhati-hati dalam beraktivitas, terlebih di kebun atau di pantai.
Saat melaut, masyarakat percaya ketika bulan terbenam pasti ada perubahan angin dan arus di laut. Saat nelayan mencari ikan, mereka memperhatikan bulan terang dan bulan mati (gelap). Penangkapan cenderung menurun di saat bulan terang. Aktivitas nelayan akan meningkat saat bulan mati. Di saat bulan mati itu aktivitas menolro (melaut dengan memasang obor) banyak dilakukan oleh nelayan.  Nelayan Siau paham benar bahwa saat bulan terbenam pasti ikan akan cenderung muncul dan aktivitas menangkap ikan akan meningkat. Masyarakat Siau bagian Utara, jika menangkap ikan ke Sanggaluhang selalu menentukan waktu saat bulrang harese berlalu. Cenderung mereka berlayar ke Sanggalruhang pada bulrang Letu. Pada bulrang letu ini penangkapan berkurang, pada saat itulah mereka pergunakan untuk berlayar atau mendayung ke Sanggaluhang. Nelayan Siau tahu jika bulan terbit maka air laut akan surut dan saat bulan terbenam air laut akan pasang. Pada saat seperti ini mereka telah tahu bagaimana peralihan arus laut.

Perubahan pasang surut air laut juga mempengaruhi aktivitas di laut. Hal ini karena perubahan arus di wilayah dangkal dan selat kecil akan terlihat jelas pada saat perpindahan air dari pasang jadi surut, juga sebaliknya. Dalam aktivitas lain juga, masyarakat Siau terlebih di pulau Toade sangat memperhatikan pasang surut air laut ini. Mereka selalu menentukan aktivitas transportasi laut dengan bergantung pada jadwal pasang surut air laut. Mereka cenderung menghindar tiba di tempat (toade) saat air laut surut. hal ini akan menghambat mereka untuk merapatkan perahu hingga ke bibir pantai. Air laut surut paling besar itu terjadi pada bulrang Limangu. Pada bulrang letu air laut itu pada posisi tetap (tidak pasang juga tidak surut). Masyarakat Siau menamainya ‘sasi huabe’.
Secara periodik, masyarakat Sanghe wilayah Siau menandai bulan (waktu) dengan fenomena alam dalam rentang waktu itu. Hal ini demi kemudahan mereka ketika berlayar jauh atau menyiapkan hajatan besar. Masyarakat Siau menandai anging Sawenahe (angin utara) akan bertiup pada bulrangu Bewene, Lurange, Tambaru, Hiabe. Jika bergeser (nitondone; istilah lokal), maka akan sampai pada bulrangu Kateluang. Pada periode ini, hujan turun dengan intensitas tinggi. Pada bulan Lurangu Tambaru (versi 1), masyarakat Siau percaya dan cenderung mengindari kemunculan anging Laesuiki (Timur Laut). Angin ini bertiup sangat kencang, ombak memporak-porandakan pantai yang wilayahnya berhadapan dengan arah Laesuiki. Karena angin ini hanya bertiup kisaran tiga hari, maka masyarakat setempat menjulukinya ‘anging telu hebi’ artinya: angina tiga malam. Anging telu hebi ini selalu muncul pertama pada bulrang Penetakeng Lese hingga bulrang Harese. Pada bulrang Harese ini puncak anging Laesuiki ini bertiup.
Anging Timuhe (angin Selatan) cenderung bertiup pada bulrang Ake Mawira lrabo (geguwa), Liwuge, Bewene, Lurange. Pada periode ini, akan datang musim kemarau. Pada penghujung musim angin Selatan, biasanya pada awal bulrang Liwuge atau akhir bulrang bowone (versi 1), akan ditandai dengan datangnya manu (burung) tegi, lalu beberapa saat kemudian kawanan burung tegi ini akan hilang. Masyarakat Siau menamakan periode singkat ini dengan ‘kawusange’.
Anging Bahe (angin Barat) bertiup tidak menentu. Namun masyarakat sudah menandainya dengan cermat. Anging Bahe muncul pada Ake Mawira Kadio dalam rentang waktu seminggu (umumnya 3-4 hari) dan juga muncul kisaran bulrang Ake Mawira Lrabo dan Liwuge. Muncul sesaat di tengah musim anging Timuhe bertiup. Angin Barat di bulan Hente (versi 1) sangat berbahaya. Hal ini dikarenakan pada bulan Hente ini alam sangatlah tenang, dan anging Bahe ini muncul secara tiba-tiba. Karena angin barat pada bulan Juni inilah di masyarakat Siau muncul ungkapan ‘arie pengumbala runia malrenehe’. Artinya: jangan lalai karena dunia tenang’. pada saat ini akan cenderung hujan ringan.
Pada bulrang liwuge (versi 1) angin bertiup tak menentu (bala u anging), sawenahe, laesuiki, bahe, dan mahaing semua memiliki kemungkinan bertiup di bulan Liwuge. Anging Daki (angin Timur) berhembus pada Pahuru, Kemba, Hampuge, Hente.  Cuaca sejuk dan laut cenderung tenang pada periode ini. Laut sangat tenang terlihat di bulrang Hampuge (versi 1; mei), namun arus laut sangat kuat. Masyarakat takjub dengan kuatnya arus pada bulan ini sehingga muncul ungkapan ‘selihu mei’, yang artinya ‘arus Mei’.
Masyarakat Siau juga ada yang percaya terhadap hubungan bulan lahir dan kepribadian seseorang. Ada yang percaya bahwa yang lahir pada bulrang Hampuge (Mei; versi 1) umumnya berwatak pemarah. Mereka yang lahir pada bulrang Bowone – Lurangu Tambaru (September – Desember; versi 1) biasanya peramah. Kepercayaan mirip horoskop ini tidak banyak informasi yang ditemukan. Entah mereka kurang mendalami atau sudah hilang dari kehidupan masyarakat Siau.

Masih ada tanda alam lain yang dipercaya masyarakt Siau ketika menghubungkan aktivitas mereka dengan patokan benda-benda langit. Contoh di atas merupakan sebagian kecil dari hubungan aktivitas masyarakat Sangihe Siau dengan benda-benda langit. Karena sudah menyinggung tentang nama mata angin dalam bahasa lokal, di akhir catatan ini saya akan tambahkan daftar itu. Namun sebelumnya, terima kasih kepada semua yang menginspirasi terlebih buat papa Machlon Bintang Horonis.

Daftar mata angin dalam bahasa Sangir juga dalam bahasa Sasahara di wilayah Siau:
1. Sawenahe                    = Mamenongkati                                        = Utara
2. Laesuiki Sawenahe     = Maempukang Mamenongkati               = Utara Timur Laut
3. Laesuiki                      = Maempukang                                        = Timur Laut
4. Laesuiki daki              = Maempukang Malelo                           = Timur Timur Laut
5. Daki                            = Malelo                                                   = Timur
6. Mahaing Daki             = Maembekang Malelo                            = Timur Menenggara
7. Mahaing                      = Maembekang/Mansohowang                 = Tenggara
8. Mahaing Timuhe         = Maembekang Matawolra               = Selatan Menenggara
9. Timuhe                        = Matawolra/Malegeeng/Bulrawa           = Selatan
10. Tahangeng Timuhe = Mahanggosang Matawolra/Amboha= Selatan Barat Daya
11. Tahangeng                 = Mahanggosang/Gumahagha                    = Barat Daya
12. Tahangeng Bahe       = Mahanggosang Palangepa                   = Barat Barat Daya
13. Bahe                          = Palangepa/Mohongmalroang/Dadakele  = Barat
14. Polrong Bahe             = Maponggaeng Palangepa                        = Barat Barat Laut
15. Polrong                      = Maponggaeng                                         = Barat Laut
16. Polrong Sawenahe    = Maponggaeng Mamenongkati            = Utara Barat Laut.

Senin, 05 September 2016

02.36 - 1 comment

MENEGASKAN KEMBALI PERAN GENERASI MUDA DALAM MENYONGSONG INDONESIA EMAS 2045 DAN MENEGAKKAN KEMBALI CITA-CITA KEMERDEKAAN INDONESIA


MENEGASKAN KEMBALI PERAN GENERASI MUDA DALAM MENYONGSONG INDONESIA EMAS 2045 DAN MENEGAKKAN KEMBALI CITA-CITA KEMERDEKAAN INDONESIA*
Sebuah pengantar
Sebagai generasi muda, pemegang tonggak pembangunan di masa mendatang, sudah tentu kita ingin menjadi generasi bangsa yang kuat, berdiri tegak, mengetahui arah mana yang akan kita tuju, dan cita-cita apa yang akan kita capai nantinya. Pada titik yang kita butuhkan adalah pandangan hidup. Dengan adanya pandangan hidup, kita mampu berpikir jauh ke depan dan membaca zaman. Sehingga nantinya kita bisa mengatasi persoalan bangsa, menegakkan kembali cita-cita bersama kemerdekaan Indonesia, dan berdiri tegak sejajar dengan bangsa dan dunia lain.
Dalam konteks bernegara, kita sebagai anak daerah memahami dasar negara kita yaitu Pancasila. Sebagai ideologi negara, Pancasila juga pandangan hidup bangsa. Disanalah kita menemukan ide, gagasan, dan konsep dalam membangun bangsa yang besar ini.
Mencanangkan semangat "Indonesia Hebat" bukanlah semata dalam kekinian kita sudah memiliki program yang tercapai. Tetapi jauh lebih dalam lagi adalah mengangkat kembali semangat masyarakat Indonesia terlebih generasi muda untuk bangkit dengan semua daya dan potensi yang kita miliki, agar cita-cita bangsa benar-benar mewujud.
Sudah saatnya kita tinggalkan "imperialisme baru" yang menggerogoti, menguras kekayaan, dan mengerdilkan potensi bangsa ini. Saatnya kita tegaskan kembali semangat pemuda 1928 dalam ikrar Sumpah Pemuda dan kita tegakkan kembali cita-cita kemerdekaan dengan UUD 45 sebagai landasan dan Pancasila sebagai dasar, pegangan, dan pandangan hidup. Sehingga Negar kita yang tercinta ini bisa berdiri kokoh sebagai sebuah bangsa.
Sebagai generasi muda "bibir Pasifik", sudah saatnya kita melihat kondisi bangsa ini secara utuh sebagai "rumah kita", sebagai tempat generasi kita selanjutnya untuk hidup dan saat ini kita tegakkan dan jaga.
Sudah bukan waktunya kita berbicara siapa paling besar, siapa paling dominan, siapa paling benar, dan siapa paling berhak. Bukan saatnya lagi kita berbicara hanya atas nama agama, suku, ras, kelompok, dan kepentingan pribadi atau golongan. Sudah saatnya kita melebur dan menyatu dalam sebuah tekad mulia demi kepentingan bangsa. Karena kita kuat jika kita bersatu.
Kondisi bangsa dan generasi muda saat inilah yang mengantar dan menjadikan kaum muda Utara Indonesia "bibir Pasifik" dengan semangat " Pakatiti Tohema Pakanandu Mangena"* untuk mengajak seluruh rakyat Indonesia terlebih kaum muda untuk kembali merenungkan dan menyadari betapa pentingnya persatuan dan semangat demi mengembalikan kehebatan Nusantara dan tegaknya harga diri bangsa.
Inilah saatnya kita tegaskan kembali peran generasi muda dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 dan menegakkan kembali cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

*Tema yang akan dipakai dalam acara penyambutan dan pengkaderan anggota baru Aliansi Kekeluargaan Mahasiswa Siau Tagulandang Biaro (SITARO) di Tondano.

*moto kabupaten Siau Tagulandang Biaro yang kurang lebih artinya adalah jeli dan mampu melihat dan membaca jauh ke depan (peluang dan visi) dan mampu berpikir jauh untuk menentukan langkah dan tindakan. Menggunakan mata (hati) dan pikiran dengan baik. Jeli menganalisa dan cerdas berpikir.

Rabu, 25 November 2015

22.06 - No comments

Sulawesi Utara dan Betapa Gurihnya Indonesia di Mata Dunia

 
Mengapa kita harus memiliki pengetahuan tentang wawasan nusantara? Karena dari wawasan nusantara ini kita bisa memahami geostrategi maupun geopolitik. Soekarno pernah berkata; Orang tidak bisa menyusun pertahanan nasional yang kuat, orang tidak bisa membangun bangsa yang kuat, kalau tidak berdasarkan pengetahuan geopolitik.
 

Terkait dengan pembangunan infrastruktur, dalam kajian Global Future Institute (GFI) pimpinan Hendrajit, kita (Indonesia) bisa menyerap inspirasi dari Rusia terkait dengan Proyek lintas perbatasan yang menghubungkan Timur dan Barat sebagai upaya membangun dampak positif dan menguntungkan bagi koneksitas berskala global. Yang mana, pembangunan ekonomi di Siberia, wilayah Rusia Timur, dijadikan landasan untuk menjadikan Siberia yang semula merupakan “halaman belakang” menjadi “halaman muka” karena Siberia merupakan pintu gerbang Rusia ke Asia Pasifik melalui jalur timur.
 
Seperti Rusia, Indonesia harus kembali menatap ke utara. Saatnya memanfaatkan wilayah utara sebagai pintu gerbang untuk menunjukan superior bangsa ini di bidang maritim. Saatnya Utara dilihat lagi sebagai “halaman muka” bukan “halaman Belakang” mengingat letak wilayahnya tepat di bibir pacific. Manfaatkan bibir pacific agar kita dapat berbicara lebih jauh dalam pertarungan global di pacific. Mari memandang Indonesia bukan dari barat ke timur saja, tapi utara ke selatan. Mari membicarakan Indonesia dari Utara, menatapnya dari atas agar lebih muda mengenalinya.
 
Utara Indonesia harus dibaca dengan cermat agar kita tidak menyesal di hari kemudian. Sulut sebagai provinsi paling utara di Indonesia, yang kini menjadi rebutan antara AS dan Tiongkok seharusnya menjadi topik paling hangat untuk kita bahas dalam persiapan peralihan kepemimpinan di Nyiur Melambai ini. Pasca WOC di Manado oleh AS dan KEK di Bitung oleh Tiongkok, kini AS kembali memperkuat genggamannya melalui pemanfaatan Manado sebagai gerbang utama internet Indoensia. Tanpa henti-hentinya dua Negara adi kuasa ini beradu strategi dalam perebutan pacific dan pemanfaatn Sulut sebagai perluasan wilayah perang asimetris.
 
Lihatlah, betapa gurihnya Indonesia di mata dunia, betapa cantik dan menawannya Ibu Pertiwi di mata paman Sam dan paman Mao. Jika tidak bisa membaca arah gerakan dua Negara adi kuasa ini untuk Indonesia, bukan tidak mungkin, ke depannya kita sebagai bangsa hanya akan jadi bulan-bulanan Negara asing karena kita tidak bisa berdaulat di darat, laut, maupun udara. Kita Negara besar, tidak mungkin bisa dihancurkan, sengaja karena kita hanya dipelihara sebagai masyarakat konsumen yang mengonsumsi produk Negara penguasa. Di jaga dengan baik sebelum sumber daya alamnya habis digerus, mungkin setelah selesai barulah kita dimusnahkan. Demikianlah masa depan kita.
 
Kembali ke utara Indonesia, mengapa saya sedikit ego ketika menuntut dan mendesak harus melihat Indonesia dari utara. Hal ini sudah bisa kita pahami dengan melihat dan memahami Indonesia dari empat penjuru mata angin. Mari kita lihat; di barat, Aceh ribut dengan GAM yang ingin lepas dari Indonesia; di timur, Papua bergejolak dengan OPM yang ingin lepas dari ibu Pertiwi; di selatan, Timor Leste sudah lepas dari NKRI. Di utara Indonesia, tidak ada gejolak apa pun. Utara Indonesia selama ini setia mengawal NKRI. Jangan sampai, sekali lagi jangan sampai ke depanya karena konflik global di pacific dan pertarungan asing di utara Indonesia ini akan mengakibatkan konflik social pada tataran masyarakat dan mengakibatkan adanya sparatis seperti yang terjadi di tiga penjuru negeri ini. Karena memang demikianlah umumnya nasib Negara yang wilayahnya menjadi proxy war.
 
Apakah salah jika nantinya utara Indonesia meminta perlakuan khusus karena hal-hal tersebut di atas?
Mari berpikir..
 

21.45 - No comments

MENGHANGATKAN KEMBALI SEMANGAT 4th ISQAE UNIMA


Ada pertanyaan provokatif dari seorang ahli pendidik, Drost (1990), ‘untuk apa sebuah perguruan tinggi didirikan?. Maksud dari pertanyaan tersebut adalah supaya ketika kita membahas atau mencermati sejarah perkembangan sebuah lembaga seperti halnya perguruan tinggi, adalah sangat penting untuk kembali kita mengenali visi, misi, dan cita-cita dasarnya agar kita tetap konsisten dan kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman. Keberadaan atau lahirnya sebuah lembaga apalagi perguruan tinggi seperti UNIMA bukanlah muncul begitu saja tanpa ada alasan atau rencana jangka panjang tertentu. Hal ini pasti tersinkron dengan visi dan misi yang dicita-citakan oleh para pendahulu yang menggagas dan mendirikan lembaga tersebut sehingga nantinya turut memberikan arah dan pedoman ke mana arah lembaga ini dijalankan. Untuk lembaga perguruan tinggi sekelas Unima kita perlu kembali mengingat latar historis, konteks social, tuntutan zaman, dan visi para penggagas dan pendirinya sehingga nanti kita bisa melihat dan membaca bagaimana proses kesinambungan dan perubahan dalam sejarah perkembangan perguruan tinggi yang kita cintai ini.
 
Drost (1990), menjawab pertanyaannya tersebut dengan menyebutkan bahwa; salah satu tujuan utama sebuah perguruan tinggi didirikan, dimanapun dan kapanpun adalah untuk membentuk kader-kader intelektual demi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi,dan demi pembangunan bangsa dan negara di sisi lain. Dan salah satu unsur dari civitas akademika perguruan tinggi yaitu para mahasiswanya. Mahasiswa juga dididik dengan maksud agar mereka menjadi manusia yang utuh dengan kualitas intelektual dan moral yang baik demi kemajuan, kesejahteraan, dan kemerdekaan manusia lainnya dalam lingkup profesi masing-masing. Tujuan yang masih umum ini tentu saja bisa dispesifikkan sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi kita ini dalam konteks jiwa zaman dan tantangan sekitar dan masa depan.
 
Unima memiliki sejarah yang panjang sejak berdirinya pada 1955. UNIMA berasal dari Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) - satu dari empat PTPG yang didirikan pertama di Indonesia yaitu PTPG Batusangkar, PTPG Malang, PTPG Bandung, PTPG Tondano, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 2450/KB/1955 tanggal 22 September 1955. PTPG Tondano mengalami berbagai perubahan: mula-mula menjadi FKIP Universitas Hasanuddin Makassar, lalu berubah menjadi FKIP Unhas Tondano di Manado, FKIP Unsulutteng, IKIP Yogyakarta Cabang Manado, dan terakhir menjadi IKIP Manado yang berdiri sendiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 38 tanggal 8 Maret 1965 juncto Keppres Nomor 275 Tahun 1965 tanggal 14 September 1965. Pada 13 September 2000, IKIP Manado dikonversi menjadi Universitas Negeri Manado berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 2000 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Bapak Yahya Muhaimin pada tanggal 14 Oktober 2000. Berdasarkan Keppres RI Nomor 127 Tahun 2000, memiliki fungsi ganda, yaitu selain menciptakan tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang kependidikan, juga menciptakan tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang non-kependidikan. Visi UNIMA: “Menjadi lembaga yang bermartabat, bermutu, unggul dan kompetitif dalam menyelenggarakan program pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Misi UNIMA: (1)Mewujudkan proses pendidikan yang mampu mengemban fungsi sebagai LPTK dalam menghasilkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional. (2)Mewujudkan pendidikan yang bermutu baik input, proses, maupun output, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. (3)Mewujudkan pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntabel dan produktif melalui tata kelola yang sehat (good governance) dalam bingkai otonomi daerah dan desentralisasi di bidang pendidikan. (4)Mewujudkan kapasitas penelitian yang inovatif dan bermutu dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang pendidikan dan pengajaran, dan pemecahan masalah pembangunan nasional dan daerah. (5)Mewujudkan kapasitas dan mutu transfer teknologi dan seni dalam kerangka pengabdian pada masyarakat dan penguatan revenue generating. (6)Mewujudkan social responsibility dalam kerangka pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia.
 
Pendidikan berkualitas tetapi terjangkau yang sudah diseminarkan di Unima (International seminar on quality and affordable education) merupaka suatu niat baik lembaga ini untuk bertransformasi menuju perguruan tinggi yang diperhitungkan. Niat baik ini haruslah mendapat respon positif dari setiap elemen yang berhubungan langsung dengan lembaga ini, baik civitas akademik maupun masyarakat Sulawesi Utara secara umum. Dengan respon yang baik bukan tidak mungkin mimpi untuk menjadi universitas dengan pendidikan berkualitas tetapi terjangkau ini bisa terwujud. Mimipi untuk mensejajarkan diri dengan beberapa perguruan tinggi terkemuka di negeri ini maupun Asia adalah mutlak untuk bisa dicapai.
 
Menggapai mimpi besar ini pastilah tidak semuda membalikan telapak tangan. Butuh sinergitas bagi kita semua untuk bahu-membahu mewujudkan cita-cita mulia ini. Penyatuan pendapat, persepsi, kritik, saran, motivasi yang benar adalah langka awal paling dasar untuk kita melangka lebih jauh, seperti halnya seminar internasional beberapa hari yang lalu itu. Untuk menjadikan niat baik yang telah diseminarkan itu menjadi lebih ringan untuk dikonsumsi seluruh masyarkat UNIMA maupun Sulut, maka saya membuat tulisan sederhana ini sebagai bagian dukungan untuk transformasi lembaga ini. Tulisan ini tentunya belumlah sempurna, bukan juga sifatnya untuk menggurui, jika ada perbedaan pendapat anggaplah suatu kewajaran dan harap dimaklumi.

‪‎Menarik benang merah hulu dan hilir permasalahan dan solusi perguruan tinggi (UNIMA) menuju lembaga pendidikan berkulitas tetapi terjangaku.

Permasalahan yang perlu mendapat perhatian pada perguruan tinggi yang pertama adalah diskontinuitas antara SMA dan perguruan tinggi yang cenderung memiliki dunianya sendiri-sendiri. Berbeda dengan SD, SMP, dan SMA, kontinuitas kurikulum SMA ke perguruan tinggi agak terputus. Hal ini bisa dilihat dengan berbagai hal seperti registrasi, tes seleksi masuk, migrasi ke kota, pemondokan, tujuan kuliah, dan kesiapan belajar. Masa transisi ini sangat membingungkan mahasiswa dan belum banyak diantisipasi dan diperhatikan oleh pihak-pihak tertentu sehingga muncul kesenjangan antara harapan guru SMA dan dosen perguruan tinggi. Pada umumnya (calon) mahasiswa kurang mengusai keterampilan belajar seperti membaca kritis, menulis akademik, dan keterampilan menggunakan computer yang merupakan kunci sukses belajar di perguruan tinggi. Umumnya di perguruan tinggi yang kita cintai ini tidak menyediakan program remedial bagi mahasiswa baru.
 
Kedua, tidak jelas tujuan atau misi perguruan tinggi. Bila yang dikejar oleh perguruan tinggi adalah kebutuhan pasar dan mahasiswa sebanyak-banyaknya, maka misi suci perguruan tinggi bisa jadi terabaikan, yakni menghasilkan manusia terdidik. Muncul dikotomi antara dunia kerja atau profesionalisme yang spesifik dan kecakapan berbudaya secara umum. Bisa jadi program studi malah menjadi penjara bagi mahasiswa, yakni menjadikannya robot dengan keterampilan sempit tanpa kecakapan hidup. Tantangannya adalah bagaimana memadukan pengetahuan budaya dalam kurikulum program studi, kurikulum fakultas, atau kurikulum universitas secara proporsional. Hal ini nantinya akan membangun kemampuan bernalar dan kemampuan menimbang atau memberikan putusan benar-salah, indah-buruk, menguntungkan-merugikan dalam kehidupan sehari-hari.
 
Ketiga, konflik yang dihadapi dosen antara kewajiban mengajar dan kewajiban meneliti. Tugas utama dosen adalah mengajar mahasiswa dengan efektif dan melayani mahasiswa dengan baik. Di sisi lain, dosen juga harus meneliti dan mempublikasikan penelitiannya dalam jurnal ilmiah, buku teks, dan media masa. Menjadi permaslahan adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keduanya. Ada juga dosen yang mendapat jabatan struktural, dan mereka harus bisa menjadi manejer yang baik. Biasanya sulit bagi dosen untuk sukses sekaligus dalam tiga bidang ini. Karena tidak semua dosen memiliki kesempatan menjadi birokrat, maka sebaiknya penghargaan finansial dan non-finasial atas prestasi penelitian dan penulisan buku teks tidak lebih kecil daripada prestasi birokratis.
 
Keempat, sulit sekali menumbuhkan kreativitas di kalangan mahasiswa. Kultur akademik di SMA yaitu sikap pasif dan menunggu masih terbawa ke bangku kuliah. Mahasiswa nantinya akan serius mempelajari suatu topik kalau diberitahu bahwa topik itu akan jadi bahan ujian. Dalam perkuliahan sulit ditemukan adanya dialog cerdas dan interaktif. Idealnya perkuliahan terjadi dalam kelas-kelas kecil, sehingga setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk berpartisipasi secara cerdas. Di sanalah tradisi ditantang, kejumudan atau kebekuan dihalau, gagasan diuji, kepercayaan diperdebatkan secara ilmiah, dan kreativitas ditumbuhkan.
 
Kelima, perguruan tinggi diciptakan seperti menara gading bukannya seperti laboratorium kehidupan. Banyak orang tua masih melihat ke(pasca)sarjanaan sebagai symbol status social. Perguruan tinggi seakan mengisolasi diri, sehingga apa yang terjadi di ruang kuliah sedikit kaitannya dengan dunia di luar kampus. Bagaimana agar kegiatan di luar kampus mendukung visi dan misi perguruan tinggi. Bagaimana mengatasi ketegangan antara kebebasan mahasiswa di kampus dengan kewenangan lembaga. Dan juga bagaimana agar perguruan tinggi memberikan kesempatan munculnya kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di kampus. Intinya dalam era globalisasi seperti ini adalah bagaimana perguruan tinggi menyiapkan mahasiswa agar siap bertahan hidup dalam kompetisi global.
Keenam, perihal evaluasi hasil pendidikan. Prestasi akademik mahasiswa sangat tergantung pada dosen per mata kuliah. Nilai akhir atau IPK dalam rentang 1,00 sampai 4,00 adalah ukuran keterdidikan manusia. Bila pendidikan dimaknai sebagai upaya membentuk sarjana sebagai manusia seutuhnya, maka persoalannya adalah bagaimanakah kualitas kemanusiaan yang begitu kompleks disederhanakan dengan sebuah IPK. Sementara itu, tidak semua dosen adalah penilai yang baik. Tampaknya, dalam menentukan IPK perlu dikembangkan berbagai format penilaian yang tidak hanya mengukur potensi intelektual, tetapi juga potensi non-intelektual seperti yang diniati oleh perkuliahan pengetahuan budaya.

Selanjutnya, dalam kompetisi global ini, gagasan jaminan mutu atau quality assurance memang mutlak harus ada agar melalui uji mutu secara berkesinambung kepercayaan publik semakin tinggi. Dalam persaingan ini Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) ada di garis depan. LPMP menjadi niscaya bagi perguruan tinggi karena di sana ada dana publik yang ditarik dari masyarakat melalui SPP dan dialirkan melalui APBN. LPMP adalah bukti komitmen perguruan tinggi dalam menjaga amanat orang tua dan pemerintah. Melalui LPMP publik dapat menilai peringkat perguruan tinggi relatif terhadap perguruan tinggi lainnya. Mutu pendidikan dianggap baik bukanlah bila perkuliahan berjalan lancar, tidak ada gejolak di kalangan dosen, subsidi pemerintah jalan terus, dan pemimpin terpilih kembali. Semua ini bukanlah indikator mutu, tetapi sekedar indikator manajemen perguruan tinggi nasional yang belum tentu menjamin perbaikan kualitas pendidikan. Penjaminan mutu adalah kegiatan sistematis melalui monitoring, inspeksi, pengetesan, kaji ulang, pengecekan, penyesuaian, dan coba ulang.
 
Kebanyakan perguruan tinggi di negeri ini menganggap jaminan mutu itu sebagai mekanisme yang pengawasan mutu dilakukan oleh pimpinan dari rektor sampai ketua program studi atau jurusan. Dalam prakteknya mereka lebih berperan sebagai kelompok administrator eksekutif yang kurang memiliki kultur evaluative. Setahun sekali mereka dimonitoring tim inspektorat, namun monitoring ini lebih berfokus pada formalitas administratif bukan pada kualitas. Demikianlah kultur manajemen akademik bangsa kita ini, jadi wajarlah jika perguruan tinggi di negeri kita belumlah sejajar dengan perguruan tinggi papan atas Asia apalagi dunia.
 
Kualitas memang menjadi mantera ampuh dalam mengelolah perguruan tinggi menuju kelas dunia. Revitalisasi peran LPMP menjadi hal yang mutlak untuk kembali dibicarakan dan dilakukan. Antara lain dengan menggerakan LPMP untuk; (1) menentukan kualitas yang mesti dicapai dalam segala kegiatan, (2) menentukan prosedur kerja atau tertib kegiatan untuk mencapai kualitas itu, (3) melakukan uji standar mutu ke perguruan tinggi dalam dan luar negeri, dan (4) berperan sebagai mitra dalam memberikan saran perbaikan bagi pimpinan perguruan tinggi dari hulu sampai hilir.
LPMP berfokus pada kualitas, sedangkan monitoring aspek administrasi (efisiensi manajemen pembiayaan) kegiatan diserahkan kepada tim audit internal. LPMP lebih berorientasi pada perbaikan kualitas yang sinambung sedangkan tim audit internal lebih berfokus pada akuntabilitas publik, yakni upaya meyakinkan stakeholders bahwa perguruan tinggi memberikan layanan yang berkualitas.
Akhirnya, demi percepatan perbaikan, jajaran pimpinan dari rektor sampai pimpinan program studi dan segala unit yang ada mesti menempatkan ‘kualitas’ sebagai strategi institusional. Semua personel di kampus kita ini dicuci otak sehingga bibir dan hatinya bukan saja berbisik ‘kerja’ ‘kerja’ ‘kerja’ tetapi juga ‘kualitas’ ‘kualitas’ dan ‘kualitas’. 


*beberapa ide dalam tulisan ini disadur dari buku 'pokoknya BHMN' A. Chaedar Alwasilah

Sabtu, 17 Oktober 2015

17.34 - No comments

Merajut Benang Merah atas Permasalahan Papua dalam Bingkai NKRI

Sangatlah menarik jika membahas tentang Papua dalam konteks NKRI. Alasan yang paling mendasar adalah selain wilayah yang terkenal dengang kekayaan alamnya ini juga wilayah di ujung timur Indonesia ini tidak sepi dengan issu—issu kekerasan bahkan konflik antarsuku dan agama (SARA) .
Di sisi lain, berbicara mengenai Papua ini sangatlah riskan juga, hal ini disebabkan dua sisi yang saling bersinggungan antara dua pihak, di satu sisi menyinggung NKRI seutuhnya (baca, pusat) jika pembicaraan menggugah semangat kepapuaan dan di sisi lain menyinggung kepapuaan Papua yang dalam hal ini sedang mencari jati dirinya sebagai masyarakat dan wilayah NKRI yang sama dengan masyarakt dan wilayah lainya di Indonesia.
Menarik memang bila melihat Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah NKRI, sebagaimana ditegaskan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 bahwa Negara-bangsa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda.
Wilayah Indonesia yang dimaksud terdiri dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, NTB, NTT, dan Maluku. Pada waktu itu Papua merupakan bagian dari provinsi Maluku.
Papua memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai dengan masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya, perkembangan nasionalisme Indonesia di provinsi ini berbeda corak. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada tahun 1925 dan nasionalisme Indonesia pada tahun 1945 di bumi Papua. (Bernarda Meteray, 2012 hal 11)

Menurut Audrey kahin (1985), akibat dari batasan wilayah Negara Indonesia yang didasarkan pada bekas wilayah Hindia Belanda, sering dibuat generalisasi yang dibuat berdasarkan tingkat revolusi sejarah nasional dan sejumlah pengalaman pemimpin Republik Indonesia di pusat pemerintahan yang menciptakan ketidakseimbangan gambaran tentang pengalaman revolusi. Menurut dia, generalisasi yang sering dilakukan para sarjana tidak dapat diterapkan untuk seluruh Indonesia.
Memang, harus diakui bahwa Indonesia merupakan satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, tetapi harus juga diakui adanya pendapat bahwa bangktinya nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.

Sebagai konsekuensi dari hasil KMB yang berlangsung pada 27 Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada pemerintahan Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi. Dengan demikian, penyerahan kedaulatan mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda tanpa Papua.

Tidak ada itikad dari Belanda untuk menyerahkan Papua ketangan pemerintahan Indonesia. Justru sebaliknya, Belanda berupaya untuk menghalangi dukungan rakyat di Papua kepada pemerintahan Indonesia, sejak 1950 Belanda menindak tegas kegiatan yang dilakukan rakyat, baik yang asli Papua maupun non-Papua dengan menangkap dan menahan para aktivis pro-Indonesia. (hal 163)

Selama periode 1945 – 1962 Indonesia tidak memiliki wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua secara terbuka. dapat dikatakan proses pengindonesiaan orang Papua yang dilakukan tidak tuntas, baru tahap awal, dan tidak menjangkau sebagian besar masyarakat Papua di pedalaman.

Sebaliknya, berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Papua sangat hati-hati dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Papua/Nieuw Guinea sesuai dengan permintaan dan kebutuhan orang-orang Papua.
Katakanlah bahwa ini suatu bentuk “Etis-Politik Gaya Baru”. Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk “Nasionalisme Papua”. Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.

Sampai di sinilah masyarakat Papua terbelah menjadi dua: yang pro-Indonesia dan Belanda. Babak selanjutnya adalah “perebutan” Papua oleh Indonesia dan Belanda yang berakhir secara resmi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menggambarkan sebagian besar masyarakat Papua ingin berintegrasi dengan Indonesia

Kompleksitas perdebatan status politik integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia hingga kini menjadi perdebatan tanpa henti. Rakyat papua beranggapan proses integrasi dan Pepera 1969 menjadi salah satu contoh bagaimana “manipulasi” sejarah Indonesia merebut tanah Papua. Klaim yang berdasar pada legitimasi hukum PBB yang mengesahkan Pepera 1969 dan menyatakan Papua bergabung ke Indonesia seakan berbeda dengan rakyat Papua dan beberapa klaim penelitian yang menyebutkan bahwa Pepera 1969 hanyalah rekayasa

Walaupun hasil Pepera menunjukan bahwa Papua merupakan bagian yang sah dari wilayah NKRI, masalah Papua masih terus bergolak hingga dewasa ini. Munculnya keraguan terhadap hasil Pepera 1969 pada sebagian masyarakat di Papua mungkin dikaitkan dengan pernyataan Amir Mahmud sekembalinya dari peninjauan Pepera 1969, bahwa sebagian besar rakyat Papua belum sadar politik, maka penduduknya cukup menyebut “Soeharto, Merah Putih, dan Indonesia“. Dia juga menegaskan, “kenyataan menunjukan bahwa sebagian terbesar dari penduduk tidak bersimpati kepada RI”.
“tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrate Sofyan Yoman. Pernytataan ini memiliki dasar yang kuat sehingga sulit untuk disangga.

Kini nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia masih sebuah dilematis bagi rakyat Papua. IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) adalah persoalan pengindonesian rakyat Papua yang tidak pernah tertuntaskan sampai sekarang sehingga dilema yang terjadi bukan lagi “ikut RI” atau “ikut Nederland” tetapi sudah pada mencari pilihan lain yaitu hak menentukan nasib sendiri alias MERDEKA.

Masalah Papua tak juga kunjung selesai sampai sekarang. Belakangan, berbagai peristiwa penembakan terhadap warga dan aparat sering kali terjadi. Keamanan dan stabilitas di Papua belum juga tercipta. Pendekatan militer yang ditempuh pemerintah Indonesia rupanya justru makin meningkatkan militansi dan perlawanan kaum separatis seperti yang dulu dicurigai sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, ketika pendekatan ini perlahan-lahan diubah dengan memberi Papua otonomi khusus, ternyata masalah juga tak kunjung selesai. Mengapa Papua terus bergolak?

Bisa disimpulkan bahwa Nasionalisme Papua terkonstruksi ole beberapa factor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite papua yang mersakan persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timbang dan semakin menunjukan perasaan berbeda. Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan termaginalisasi orang Papua di daerah sendiri (chauvel 2005; Widjojo dkk 2009:9)
Daripada terjebak pada interpretasi yang bertentangan terus menerus sepertia yang dialami sekarang ini, seharusnya kedua belah pihak dimungkinkan untuk menyetujui atau menyepakati elemen-elemen sejarah tertentu sebagai kebenaran yang diterima bersama. Jika itu dilakukan maka akan terbuka kemungkinan kesalahan-kesalahan pada masa lalu diperbaiki dan kekecewaan-kekecewaan yang sudah berlangsung lama dapat ditangani.
Secara khusus, pemerintah seharusnya bersiap-siap untuk mengakui memoria pasionnis orang Papua dan menyampaikan permohonan maaf kolektif secara bermartabat atas kesalahan dan penderitaan pada masa lalu, seperti pernah dilakukan untuk Timor Timur dan Aceh. Pemerintah seharusnya memeriksa kembali kejadian-kejadian di seputar pepera 1969 dan percaya diri dalam melakukan hal itu, tanpa dihantui ketakutan bahwa kedaulatan Indonesia atas Papua akan terganggu.

Menutup materi diskusi ini saya mengutip buku Meracik Wacana, Melacak Indonesia. Hasyim Wahid, dkk tentang What’s Next? Globalisasi:
"Globalisasi telah melanda Indonesia bagai air bah. Sekarang pilihannya adalah kita mau berenang atau tenggelam. Jika kita tidak memiliki kesadaran akan masa lalu, maka pengetahuann up to date untuk masa sekarang juga tidak ada.

Kita juga mesti memiliki kesadaran akan fakta sejarah mengenai terjadinya gelombang pembuangan sampah peradaban Eropa. Gelombang 1 pembuangan sampah peradaban ini ke ke benua Amerika telah mengakibatkan musnahnya jutaan suku Indian, penduduk asli Amerika yang telah memiliki peradaban tinggi. Kemudian gelombang 2 pembuangan sampah peradaban ke Asutralia telah menimbulkan pemusanahan pada suku Aborigin.
Dari fakta ini kita mesti menyadari bahwa mungkin saja mereka akan melakukan pembuangan sampah peradaban gelombang 3. Bisa saja Irian Jaya (Papua) dan Papua Nugini dimerger lalu dijadikan tempat pembuangan berikutnya, toh korbannya paling cuma 6 juta orang Papua saja.

Melihat hal ini, pemerintah Indonesia harus waspada atas setiap isu yang ada tentang Papua. Masyarakat Papua juga harus bisa bersikap dewasa. Jangan karena rezim Orba berbuat salah, kemudian kecewa dan melawan pemerintah NKRI. Karena bagaimanapun kekecewaan itu sangat rentan untuk ditunggangi oleh Barat agar Papua bisa pisah dari NKRI. Rakyat Timor-Timur yang kini menyesal setelah menjadi Timur Leste perlu menjadi pelajaran bagi orang Papua. Bahwa lepas dari NKRI bukanlah pilihan yang tepat. Jika orang Papua masih tetap ngotot merdeka, maka tunggulah saatnya mereka sebagai etnis akan lenyap bagaikan suku Indian dan Aborigin".

*Tulisan ini telah dimuat terlebih dahulu dengan judul yang sama pada theglobal-review.com.

17.28 - No comments

MASA DEPAN SULUT DI PASIFIC

Sarundajang berharap WOC akan menjadi momentum penting penyelamatan ekosistem global melalui itikad baik setiap negara dan pihak di seluruh belahan dunia untuk membuka diri membangun komitmen yang akan termuat dalam Manado Ocean Declaration. WOC pada gilirannya membangun hegemoni Indonesia di bidang diplomasi, karena berbagai capaian gemilang yang berhasil ditoreh menyangkut masa depan Global. Umbas (2009:11).

Amerika Serikat memandang WOC sebagai sebuah arena penting untuk menjawab persoalan global di bidang laut dan lingkungan. "WOC memberi kesempatan kepada seluruh dunia untuk bersatu dalam suatu kekhawatiran yang sama dan saya mendorong anda semua untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya" ujar Hillary (MenLu AS).
Selain itu, Hillary juga menegaskan tentang keterkaitan sistem kelautan dengan perubahan iklim global. langkah-langkah internasional menurut Hillary sangat diperlukan untuk menemukan solusi ilmiah atas berbagai masalah yang dihadapi.AS memang menjadi negara pendukung CTI, dan meberi perhatian serius terhadap masalah perlindungan wilayah pesisir dan kelautan di Indonesia. Umbas (2009:12)
Amerika memang cukup memberi perhatian pada penyelenggaraan WOC dan CTI Summit. sebab, sejak ide ini digulirkan negara adidaya ini memberi apresiasi yang juga terkait dengan berbagai proyek penelitian dan keilmuan mereka di Indonesa. "ini untuk menunjukan kapasitas kami dalam bidang kebijakan dan ilmu pengetahuan." kata Richard Spinrad, Asisten Administrator untuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric Research). Umbas (2009:14)
Dari beberapa kutipan buku SULUT MENDUNIA di atas sangat jelas begitu besar kepentingan AS didalamnya. Secara geopolitik penempatan hajatan besar ini di Manado bukanlah tidak memiliki alasan kuat bagi negara sekelas AS. sekali tepuk dua lalat, mungkin cocok untuk hasil yang diperoleh AS dari hajatan ini. pertama, kita telah menelan dengan menta dan memuluskan sekaligus mendukung baik issu perubahan iklim dan pemanasan global yang digemborkan AS di kawasan Asia Tenggara. kedua, AS merebut Utara Indonesia sebagai perluasan wilayah kekuasaan untuk kepentingannya di Pasifik (sengketa wilayah Laut Cina Selatan).
Menyangkut masalah perubahan iklim dan pemanasan global, Vaclav Klaus dalam pengantar untuk edisi bahasa Indonesia pada buku "Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim" menyangkan masih ada sejumlah besar politisi dan tokoh masyarakat yang tidak ragu-ragu dalam mempromosikan doktrin pemanasan global yang tidak jelas ini dengan dalih "untuk kepentingan orang banyak" dan 'untuk menyelamatkan dunia". Doktrin ini tidak hanya mengancam kebebasan individu, tetapi juga merupakan intervensi ekonomi yang luar biasa besar dalam bentuk peraturan dan subsidi yang tidak masuk akal. Berkat dorongan politik dan konotasi penyelamatannya, hal ini telah menjadi bisnis menguntungkan sekaligus instrumen inovasi politik kaum intelektual sosialis dan kiri dalam perjuangan mereka menentang kebebasan pasar dan kapitalisme.
Terkait kepentingan AS di pasifik dan letak strategis Sulut di Bibir Pasifik yang secara keseluruhan dalam kepentingan RI telah diurai oleh Dr. Sam Ratulangi dalam bukunya Indonesia in den Pacific. Takdir inilah yang menyeret Sulut dalam pusaran perebutan kekuasaan negara yang berkepentingan besar di pasifik seperti AS dan Tiongkok. Dalam pusaran kepentingan dua negara besar ini, Sulut sudah seharusnya waspada terhadap skema penggiringan wilayah ini menjadi zona proxi war antara dua negara ini.
Secara geopolitik perebutan Sulawesi Utara antara AS dan Tiongkok bukanlah sesuatu yang terselubung lagi karena Tiongkok juga telah menancapkan cengkramannya di wilayah ini dengan memanfaatkan kota Bitung dalam program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Alhasil, dua negara yang berkepentingan besar di pasifik ini telah menggenggam Sulut; AS di Manado dengan WOCnya dan Tiongkok dengan KEKnya di Bitung. Hal ini juga sejalan dengan amatan dan kajian Hendrajit dan M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute dalam tulisan “Takdir Geopolitik Indonesia di Tengah Pertarungan Global AS-Cina di Asia Pasifik” dan “Manado-Bitung Sasaran Proxy War AS-Cina Sejak 1998
Dengan tulisan yang masih jauh dari kesempurnaan ini semoga kita bisa mengambil hal positif sehingga bisa belajar dari apa yang telah terjadi di Ukraina dan Yaman, dan NYIUR SEMAKIN MELAMBAI DI INDONESIA BAHKAN DUNIA.

*tulisan ini juga dimuat lebih dahulu di theglobal-review.com dengan judul "Membayangkan Masa Depan Sulut dalam Kiprah Global".

17.18 - No comments

TRADISI UNTUK ANAK BAYI DI SANGIHE SIAU

MULUANG GAHI
muluang gahi adalah salah satu kearifan lokal yang masih hidup di Siau, kampung Laghaeng dan beberapa kampung lainnya masih menjaga dengan baik kearifan ini hingga saat ini.
Muluang gahi dilakukan oleh orang tua kepada anaknya jika keturunan atau anak mereka persis mukanya (Gahi) dengan salah satu orang tua. Dipercaya jika anak yang lahir persis mukanya dengan ayah atau ibunya itu akan sering sakit-sakitan dan tidak akan berumur panjang. Untuk menghilangkan, mengobati atau mencegah hal yang buruk ini terjadi maka orang tua yang persis mukanya dari anak tersebut harus 'MEMBELI MUKA (RAUT WAJAH)' anaknya tersebut, dalam bahasa lokal inilah yang disebut dengan tradisi 'MULUANG GAHI'. Uang hasil membeli itu dimasukan ke kas Gereja. Demikian tradisi ini dilakukan dan terjaga hinga sekarang.

MANGAUNG HIWA

Mangaung Hiwa termasuk tradisi atau kearifan lokal Sangihe Siau yang masih terjaga hingga sekarang ini. Hampir semua wilayah masih mempertahankan kearifan lokal ini. Mangaung hiwa dilakukan pada saat orang tua merasah bahwa anak mereka sering sakit-sakitan karena ulah atau kesalahan mereka. Mereka merasakan pangkuan mereka tidak hangat lagi bagi si anak maka perlu pangkuan yang lebih adem demi kelanjutan pertumbuhan sang anak baik fisik maupun mental spiritual. Maka dicarilah orang tua tersebut untuk dilakukan prosesi melepas pangkuan atau mengangkat anak dari pangkuan yang tidak hangat (orang tua kandung) ke pangkuan yang lebih adem (orang tua yang sudah ditentukan/dipilih). Jadi sederhananya proses ini seperti mengangkat dan meletakan kembali ke pangkuan yang lain dalam bahasa lokal disebutlah MANGAUNG HIWA.
Prosesi mangaung hiwa: biasanya telah dihadiri oleh beberapa kerabat terdekat ada juga yang sengaja di'note' (undang).
Orang tua melakukan sembahyang secara pribadi sebelumnya dihadapan piring yang berisi air juga daun tawaan (dakalung tawaang) dan dakalu kalu haghi, daun ini umumnya dipakai untuk batas tanah (pusarang). Ini dijadikan sebagai penyejuk (TATAHULENDING) dengan cara mengibaskan atau memancarkan air tersebut ke beberapa bagian rumah dengan manggunakan dakalung tawaang atau kalu haghi tadi.
Selanjutnya kedua pasangan orang tua duduk berhadapan, orang tua kandung yang sementara memangku anaknya dan bersiap menyerahkan, mengucapkan doa dan harapan:
'' i kami dua singkawingang mupupendang sulralrung pudalrahiking i kami dua maulri salrane. Su salra ii aramanungu nakoa lrawe su ana ii, haki u tatuwone masau sahindakeng. Nau ipupendang hiwa i kami dua ko seng mateti. Nau su orase ii iaung, ionggo su hiwa malralrending''
kemudian menyerahkan anak kepada orang tua yang dipilih tadi.
Orang tua yang menerima mengucapkan doa dan syukur
''su tengong komolrang ko mawantuge nangilembong su tengong Mawu Ruata makoa kere sahiding su orase ii, i kami dua singkawingang dingang naung malruase manarima ana ii, i hiking kere ana i kami dua tutune. Mawu Mangalramate''.
Air yang ada di piring tadi kemudian dibasuh ke raut muka si anak sebagai bentuk hiwa telah niaung. Biasanya akhir-akhir ini, prosesi ini dilanjutkan dengan ibadah syukur.
Demikian tradisi ini dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi.

MUNDEME ANA
dari penyebutannya kearifan lokal ini kedengeran negatif karena mundeme ana terjemahan harfianya adalah ‘membuang anak’. Tapi tidaklah demikian adanya. Tradisi mundeme ana ini dilakukan penyebabnya hampir sama dengan tradisi 'muluang gahi' dan 'mengaung hiwa' yang ditulis sebelumnya. Yang membedakan hanyala pada prosesi. Pada mundeme ana ini, prosesinya dilakukan dengan meletakan anak di tengah jalan menuju rumah orang tua, anak diletakan di atas 'kalrekube' (pelepa daun pinang) kemudian orang tua target untuk anak yang dibuang ini berjalan dan memungut anak ini (seolaholah) menemukannya. Kemudian sesampai dirumah orang tua anak tersebut, orang tua yang menemukan itu mengumumkan kabar gembira ini ke orang banyak yang sudah hadir (di note) saat itu. Biasanya ditutup dengan ibadah syukuran keluarga.
Dari 3 prosesi kearifan lokal ini (muluang gahi, mangaung hiwa, mundeme ana) biasanya selalu diakhiri dengan menanam pohon untuk si anak ini sebagai pertanda kehidupan. Pohon yang ditanam umumnya adalah pohon kelapa, karena pohon kelapa hampir seluruhnya bisa digunakan (akar hingga daunya) serba guna. Harapan anak bisa bertumbuh dan berguna untuk orang banyak.
Demikian kearifan lokal untuk anak-anak bayi yang masih hidup di tanah karangetang Siau.