
Soekarno tiba-tiba meloncat ke atas meja dan berkata keras;
“Tidak. Saya tidak setuju! Tanah kebanggaan kita ini dulu pernah bernama
Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti di antara. Nusantara
berarti ribuan pulau-pulau, dan banyak di antara pulau-pulau ini yang
lebih besar daripada seluruh negeri Belanda. Jumlah penduduk negeri
Belanda hanya segelintir jika dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa
Belanda hanya dipergunakan oleh enam juta manusia. Mengapa suatu negeri
kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasi suatu bangsa
yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga dapat mengalahkan Kublai Khan
yang kuat itu? Saya berpendapat, bahwa yang pertama-tama harus kita
kuasi adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk
mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan
sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang
menjadi bahasa diplomatik. Belanda berkulit putih. Kita sawomatang.
Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam. Mereka
tinggal ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa
Belanda?!
Penggalan sejarah yang heroik di atas
mengilhami tulisan sederhana yang tidak ilmiah ini, jika ada kekurangan
dan perbedaan pendapat harap maklum.
Bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara, bahasa persatuan, bahasa IPTEK dan seni, dan
sebagai bahasa dalam pembangunan telah menenmpatkan posisinya sebagai
suatu kebanggan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebaga bahasa
negara, bahasa Indonesia dinyatakan kedudukanya pada 18 Agustus 1945,
karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang didalamnya
menyebutkan bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa
persatuan, bahasa Indonesia sudah jelas sebagai pemersatu suku bangsa
yang beraneka ragam yang ada di Indonesia. Bahas Indonesia juga mampu
mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pendidikan, pengembangan ilmu, teknologi, serta seni.
Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan
dan penyampaian ilmu pengetahuan kepada semua kalangan dan tingkat
pendidikan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
bahasa Indonesia kurang diminati atau disoroti sebagai bagian yang perlu
diangkat ketika pembahasan kita merujuk pada nasionalisme dan bela
negara, padahal bahasa itu sendiri adalah lambang kebanggan dan
identitas sebuah bangsa. Mungkin kita harus resapi kembali maksud
Liberty Malik dalam lirik lagu Satu Nusa Satu Bangsa; “nusa, bangsa dan
bahasa, kita bela bersama”. Disinilah puncak nasionalisme seorang
Liberty Malik ketika menyertakan pentingnya bahasa di tengah kepentingan
NKRI secara wilayah geografi (nusa) dan kelompok masyarakat yang
bersamaan asal keturunan, adat, dan sejarahnya, serta berpemerintahan
sendiri (bangsa). Pentingnya bahasa dimata Malik jika dipandang dari
sudut pandang global akan tersirat ungkapan ‘bahasa menunjukkan
kedudukan’.
Permasalahan bahasa Indonesia di negeri
sangatlah kompleks. Hal ini senada dengan Hasan Alwi (2011) dalam
tulisannya Politik Bahasa Nasional menegaskan bahwa masalah kebahasaan
Indonesia memperlihatkan ciri yang sangat kompleks. Hal itu berkaitan
dengan tiga aspek, yaitu menyangkut bahasa, pemakai bahasa, dan
pemakaian bahasa. Aspek bahasa menyangkut bahasa Indonesia, bahasa
daerah, dan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Aspek pemakai bahasa
terutama berkaitan dengan mutu dang keterampilan berbahasa seseorang.
Dalam perilaku berbahasa tidak saja terlihat mutu dan keterampilan
berbahasa, tetapi juga sekaligus dapat diamati apa yang sering disebut
sebagai sikap pemakai bahasa terhadap bahasa yang digunakannya. Adapun
aspek pemakaian bahasa mengacu pada bidang-bidang kehidupan yang
merupakan ranah pemakaian bahasa. Pengaturan masalah kebahasaan yang
kompleks itu perlu didasarkan pada kehendak politik yang mantap.
Pergulatan
tentang bahasa ini memang sudah mendapat perhatian dari pemerhati
bahasa sejak seminar 1975 yang menghasilkan Politik Bahasa Nasional
setakat Kebijakan Bahasa Nasional hasil seminar 1999 juga risalah
kongres bahasa Indonesia VIII semuanya sama-sama membahas dan merumuskan
berbagai masalah kebahasaan di Indonesia yang perlu ditangani. Hal ini
berbuah pada Undang-Undang republik Indonesia No 24 Tahun 2009 tentang
bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Meskipun
rumusan tentang kebijakan dan perencanaan bahasa telah ada, namun dalam
realita berbangsa penggunaan bahasa Indonesia masih jauh dari harapan.
Pemasalahan muncul bisa diyakini karena ketidakpercayaan diri bangsa
kita dalam menggunakan bahasa Indonesia. Mental inlander terus
menghantui bangsa ini sehingga bahasa sendiri dirasa kurang berbobot
dibanding bahasa asing. Bangsa Indonesia sekarang ini kurang menghargai
bahasa Indonesia, buktinya banyak tempat, nama sekolah, nama bangunan
dll menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing. Sangat sedih melihat
ini, karena pendiri bangsa ini sudah berjuang untuk menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan, identitas bangsa, kebanggaan bangsa
namun lebih disayangkan juga banyak para pejabat menggunakan bahasa
Indonesia yang dicampur bahasa Inggris dan bahasa asing. Bahasa asing
dan bahasa Inggris dirasa lebih intelek daripada bahasa Indonesia itu
sendiri. Ini penjajahan gaya baru pada bangsa kita yang tidak kita
sadari dan dianggap hal biasa-biasa saja. Mari kita sebut ini sebagai
penjajahan bahasa.
Waktu
terus berputar, perubahan zaman senantiasa terjadi terlebih di era
globalisasi abad ke -21 ini. Perkembangan dan kemajuan pada bidang
teknologi dan informasi secara langsung akan mempengaruhi semua lini
kehidupan dan ini sudah tentu berdampak pula pada keberlangsungan
kehidupan kebahasaan di Indonesia. Hal ini merupakan tantangan yang baru
dan besar bagi bahasa Indonesia. Kita tidak bisa mungkir bahwa dalam
peningkatan interaksi global memerlukan bahasa sebagai alat
berkomunikasi dan bahasa asing menjadi satu modal utama keunggulan
kompetetif. Bahasa asing menjadi lebih penting dan menjadi ciri SDM yang
berkualitas. Di sini kita melihat letak pemakai bahasa berperan penting
menempatkan posisinya dalam berbahasa. Kapan, dimana, dan bagaimana
kita berbahasa yang baik tanpa menyepelehkan Identitas diri kita sebagai
satu bangsa yang memiliki bahasa sendiri.
Sangatlah rumit
menempatkan bahasa Indonesia di tengah gempuran bahasa asing dan di
sisi lain ada pelestarian bahasa daerah. Chaedar Alwasilah (2012)
mengemukakan, globalisasi, di satu pihak, memunculkan hegemoni dan
imperialisme bahasa sehingga kita ditantang untuk beraksara dalam bahasa
nasional dan asing. Di pihak lain, di kota-kota kecil globalisasi juga
memunculkan kecenderungan monolingualisme, yakni kebiasaan beraksara
dalam bahasa Indonesia dan meninggalkan bahasa daerah. Untuk mengimbangi
globalisasi ini, bangsa Indonesia harus memiliki strategi sendiri,
strategi kebudayaan, antara lain dengan mengandalkan dan memberdayakan
kearifan lokal, termasuk pemberdayaan dan revitalisasi bahasa daerah.
Ketahanan budaya dalam strategi kebudayaan harus berpangkal pada
pemikiran budaya yang menimbulkan rasa bangga.
Kekaguman
yang sangat berlebihan terhadap bahasa asing merupakan ancaman yang
paling berbahaya bagi bangsa ini. Dampak globalisasi sangat besar
sehingga bangsa Indonesia seolah tidak berdaya jika tidak menguasai
bahasa asing dan bahasa Inggris. Pelemahan dari segi opini bahwa bahasa
Indonesia bahkan bahasa daerah tidak mampu dan tidak siap bersaing
dengan bahasa asing dan Inggris semakin memperparah kondisi bahasa kita.
Dalam pengamatannya terhadap terhadap prilaku berbahasa, khususnya para
diplomat Indonesia di luar negeri, Ajip Rosidi yang dikutip dalam
Alwasilah (2012) mengatakan bahwa bahasa negara kita “direndahkan dan
dihina di tanah air kita sendiri dan juga diperwakilan-perwakilan kita
di negeri orang oleh orang kita sendiri tanpa ada yang membelanya”.
Miskinnya panutan berbahasa yang baik dari pemimpin bangsa dan kaum
intelektual berimbas pada tidak bangkitnya mental inlander dalam
berbahasa bangsa ini. Di sini bisa dilihat bahwa ancaman penjajahan
bahasa indonesia ini bukanlah bahasa Inggris atau bahasa asing melainkan
bangsa Indonesia sendiri yang kurang percaya diri dengan bahasa
Indonesia.
Di lembaga pendidikan, pendidkan bahasa
Indonesia menjadi musuh besar bagi kalangan siswa dan mahasiswa. Menurut
Chaedar Alwasilah (2012) Ini dikarenakan praktik pengajaran bahasa yang
tidak inovatif dan tidak kreatif. Lanjutnya, rendahnya kemampuan
menulis akademik para lulusan universitas menunjukan lemahnya literasi
bangsa sebagai bukti gagalnya pengajaran di tingkat sekolah dasar sampai
dengan universitas. Dalam hal menulis, Alwasilah (2005) mengungkapkan
bahwa belajar menulis itu seperti belajar kungfu, seyogianya berguru
kepada “sang jagoan” yang dibuktikan dengan karya-karyanya yang telah
dipublikasikan. Publikasi itu juga penting dipajang untuk menanamkan
kepercayaang para murid akan kepakaran sang suhu. Dosen-dosen yang
berkhotbah ihwal menulis tanpa unjuk publikasi akan sulit mendapat
kepercayaan muridnya. Mungkin ini salah satu penyebab saat ini jumlah
karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secarah keseluruhan masih
lebih rendah dibandingkan dengan malaysia. Wajar jika Dirjen Pendidikan
Tinggi sebagai orang pertama yang bertanggung jawab ini marah atau
jengkel karena lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis. Bahkan
para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Chaedar alwasilah dalam
tulisanya (Bukan) Bangsa Penulis. 2012.
Dari sorotan
lembaga pendidikan selanjutnya kita melihat bahasa dalam media, baik
surat kabar, radio, dan televisi. Mengutip beberapa pendapat Djafar
Assegaf dalam tulisannya “bahasa koran, radio, dan televisi perlu
pembenahan menyeluruh” mengatakan, secara terus terang bahwa media
massa, yakni surat kabar, radio dan televisi tidak berkembang lebih
bagus dalam penggunaan bahasa, malah sebaliknya bahasa pers, radio dan
televisi mengalami penurunan dalam mutu penggunaan bahasa Indonesia yang
baku. Bahasa media massa sudah menjadi “bahasa gado-gado” karena begitu
banyaknya masuk istilah-istilah bahasa asing terutama Inggris yang
sudah ada padananya dalam bahasa Indonesia tapi tidak dipakai.
Akibatnya, masyarakat intelektual dan pemimpin kita berbahasa dalam
bahasa gado-gado, tak ubahnya dengan bangsa dalam peradaban meztizo yang
lebih bangga karena bahasanya bercampur dengan bahasa asing.
Kondisi
masyarakat Indonesia dan hubunganya dalam kreatif berbahasa ditulis
baik dan jelas oleh Andar Ismail (2015), tulisnya, kita memang bangsa
yang kreatif dalam urusan bahasa. Bukan kreatif menghasilkan gramatika
berbahasa dengan baik dan benar. Bukan pula menghasilkan karya tulis
yang bermutu. Melainkan kreatif menghasilkan idiom yang menyamarkan
suap-menyuap atau sogok-menyogok alias korupsi. Jangan heran kalau
mendengar idiom seperti
uang rokok, uang transport, uang makan, uang
persembahan, uang terima kasih, uang tinta, uang lelah, uang jalan,
uang pelicin, uang kertas, uang pulsa, dan masih banyak lagi.
Itulah negeri kita, suap-menyuap, sogok-menyogok alias korupsi
terbungkus rapi dan bergulir terus tersamar dalam bahasa yang santun.
Menengok
bahasa Indonesia dalam karya sastra, dalam mengurai kehidupan manusia,
seorang penulis mengimajinasikan pikiran-pikiran atau idenya
berlandaskan pada realitas kehidupan guna menyentuh secara langsung sisi
kehidupan kelompok masyarakat sehingga menghasilkan karya yang memiliki
nilai ajaran moral yang tinggi bagi masyarakat secara umum dan penikmat
hasil karya satra secara khusus. Demikianlah sastra,
dulce et utile.
Namun tidak bisa dipungkiri kalau karya sastra seperti novel, cerpen
banyak ditulis dengan menggunakan dialek dan bahasa gaul khas remaja
yang jelas-jelas melenceng dari niatan untuk memasyarakatkan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Karya seperti ini merajalela di pasar dan
banyak diburu pembaca pemula. Hal ini berimbas pada bahasa lisan yang
nantinya mereka pakai dalam presentasi formal dalam dunia pendidikan.
Saatnya kita merevitalisasi karya sastra anak bangsa guna menggali jati
diri, budaya dan kreativitas anak bangsa sebagai penangkal arus
globalisasi yang masuk mulus di negeri ini.
Harus kita
akui betapa pentingnya pemartabatan sastra nasional sebagai alat
pembangunan bangsa dan negara. Sebenarnya bila dikemas dengan baik
sastra Indonesia akan bisa
go international dan banggalah
negeri ini. Siapa yang tidak bangga penulis-penulis hebat seperti
Pramoedya Ananta Toer, Habiburrahman El-Shirazi, Andrea Hirata dan
beberapa lainya menjadi pembicaraan di level international.
Bagaimana di Indonesia? Apakah masyarakatnya gemar membaca, ataukah kita masih tenggelam dalam budaya
“dengar dan bicara”?.
Tidak perlu dipikir lebih jauh karena jika hasil tulisan bangsanya
sedikit berarti bangsa itu juga malas membaca. Realitanya, kaum pelajar
terlebih mahasiswa lebih gemar berburu pernik untuk gaya dan model yang
lebih modern dari pada ke tokoh buku berburuh buku yang terbaru. Atau
paling tidak berdalih dengan adanya
google, tinggal ketik dan
berselancar sudah ditemukan topik yang dicari. Janganlah heran kalau
generasi saat ini adalah generasi yang menyimpan ilmunya di internet, di
otak tidak apalagi perasaan dan tindakan.
Perfilman
Indonesia sebagai sastra yang komplit diserbu oleh film Hollywood dan
Bollywood, dan kini drama Korea meramba remaja-remaja Indonesia.
Sinetron di televisi Indonesia tidak diminati karena tidak kreatif dan
kebanyakan meniruh cerita dari perfilman luar negeri. Judulnya terkadang
menggunakan bahasa asing meski seting dan ceritanya di Indonesia dan
bahasa indonesia. Penjudulan film di bangsa ini juga kadang-kadang
melenceng dari karakter budaya kita, carut-marut bahkan kedengaran aneh.
Contoh, tahun di 1980-an
Nafsu Gila, Nafsu Besar Tenaga Kurang, Ganasnya Nafsu, Saat Saat Kau Berbaring Di Dadaku, Gairah Yang Nakal, tahun 1990-an
Ranjang Yang Ternoda, Ranjang Pemikat, Godaan Membara, Wanita Dalam
Gairah, Permainan Binal, Getaran Nafsu, Gairah Yang Panas, Bisikan
Nafsu, Gejolak Seksual, Puncak Kenikmatan. Judul yang aneh-aneh juga muncul kisaran tahun 2008 terutama di film-film yang berbauh horor. Seperti
Hantu
Jeruk Purut, Pocong, Dendam Pocong, Leak, Terowongan Casablanca, Ada
Hantu Disekolah, Paku Kuntilanak, Suster Ngesot, Kutukan Suster Ngesot,
Tali Pocong Perawan, Susuk Pocong, Diperkosa Setan, Rintihan Arwah
Perawan, Kain Kafan Perawan dan paling aneh 2010 ada judul film
Hantu Puncak Datang Bulan yang kemudian diubah menjadi
Dendanm Pocong Mupeng.
Jika begini, bagamiana nanti karya perfilman kita akan memupuk rasa
bangga?. Karya yang kita hasilkan lebih mengejar keuntungan ekonomi
bukan membangun bangsa yang terdidik dan bermartabat. Banyak penulis
tertarik berkarya hanya untuk komersilal semata sedang kepentingan dan
harga diri bangsa terabai.
Di sekeliling kita, banyak
pemberitahuan dan pengumuman ditulis dalam bahasa asing dan bahasa
Inggris. Pemberitahuan dan pengumuman yang ditulis dalam bahasa asing
atau bahasa Inggris itu kurang mendukung pembangunan bangsa. Di sana
kelihatan kita hanya tampil gaya tapi tidak berdaya, kelihatan dekoratif
tapi tidak komunikatif. Teks-teks seperti ini tampil pongah
diskriminatif terhadap mayoritas anggota masyarakat pembaca itu sendiri.
Pergulatan
membela, membina dan mengembangkan bahasa Indonesia adalah pekerjaan
yang besar. Kelihatan sepele sehingga terkadang hal yang salah yang
sudah biasa kita lakukan kita benarkan. Memanggil tampil di depan dengan
kalimat
“silakan maju ke depan”, kata imbau jadi
“himbau”, diubah jadi
“dirubah”, dan masih banyak lagi kesalahan yang kita biasakan tapi kita anggap benar karena menganggap remeh bahasa Indonesia.
Memang
tak dipungkiri juga Ejaan Yang Disempurnakan pun masih ada kekurangan.
Ajip Rosidi (2010) menegaskan bahwa kalau kita teliti lebih cermat,
seluruh EYD penuh dengan ketidakonsistenan. hal ini sebenarnya aneh
karena EYD dipromosikan dengan payung “pembakuan bahasa”. Artinya EYD
seharusnya menjadi rujukan bagi mereka yang ingin berbahasa Indonesia
baku. Kalau rujukannya tidak konsisten bagaimana bisa kita menumbuhkan
sesuatu yang baku?.
Bagaimana pun kondisi bahasa Indonesia
saat ini kita tetap diajak untuk tidak letih mencintai bahasa
Indonesia, tidak lelah membanggakan bahasa Indonesia sebagai kekayaan
dan identitas bangsa kita. Agar bahasa Indonesia tidak semakin
terjermbab, Anton Muliono menegaskan bahwa bahasa Indonesia akan
menempati kedudukannya yang terhormat jika sumber daya manusia yang jadi
penuturnya menjadikan bahasa itu bahasa yang patut dimahiri dan
dikuasai. Jika sudah demikian kita akan berdiri tegak dan mendongakkan
kepala kita sambil berucap “Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan BAHASA INDONESIA. Tetap tegak berdiri sambil bernyanyi;
Satu nusa
Satu bangsa
Satu bahasa kita
Tanah air
Pasti jaya
Untuk Selama-lamanya
Indonesia pusaka
Indonesia tercinta
Nusa bangsa
Dan Bahasa
Kita bela bersama
Saat
itulah tanpa sadar kita telah membuat para pendahulu kita bangga,
Liberty Malik hidup kembali dengan semangat nasionalismenya dan ibu
Pertiwi tersenyum bahagia.