Sabtu, 17 Oktober 2015

17.34 - No comments

Merajut Benang Merah atas Permasalahan Papua dalam Bingkai NKRI

Sangatlah menarik jika membahas tentang Papua dalam konteks NKRI. Alasan yang paling mendasar adalah selain wilayah yang terkenal dengang kekayaan alamnya ini juga wilayah di ujung timur Indonesia ini tidak sepi dengan issu—issu kekerasan bahkan konflik antarsuku dan agama (SARA) .
Di sisi lain, berbicara mengenai Papua ini sangatlah riskan juga, hal ini disebabkan dua sisi yang saling bersinggungan antara dua pihak, di satu sisi menyinggung NKRI seutuhnya (baca, pusat) jika pembicaraan menggugah semangat kepapuaan dan di sisi lain menyinggung kepapuaan Papua yang dalam hal ini sedang mencari jati dirinya sebagai masyarakat dan wilayah NKRI yang sama dengan masyarakt dan wilayah lainya di Indonesia.
Menarik memang bila melihat Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah NKRI, sebagaimana ditegaskan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 bahwa Negara-bangsa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda.
Wilayah Indonesia yang dimaksud terdiri dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, NTB, NTT, dan Maluku. Pada waktu itu Papua merupakan bagian dari provinsi Maluku.
Papua memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai dengan masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya, perkembangan nasionalisme Indonesia di provinsi ini berbeda corak. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada tahun 1925 dan nasionalisme Indonesia pada tahun 1945 di bumi Papua. (Bernarda Meteray, 2012 hal 11)

Menurut Audrey kahin (1985), akibat dari batasan wilayah Negara Indonesia yang didasarkan pada bekas wilayah Hindia Belanda, sering dibuat generalisasi yang dibuat berdasarkan tingkat revolusi sejarah nasional dan sejumlah pengalaman pemimpin Republik Indonesia di pusat pemerintahan yang menciptakan ketidakseimbangan gambaran tentang pengalaman revolusi. Menurut dia, generalisasi yang sering dilakukan para sarjana tidak dapat diterapkan untuk seluruh Indonesia.
Memang, harus diakui bahwa Indonesia merupakan satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, tetapi harus juga diakui adanya pendapat bahwa bangktinya nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.

Sebagai konsekuensi dari hasil KMB yang berlangsung pada 27 Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada pemerintahan Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi. Dengan demikian, penyerahan kedaulatan mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda tanpa Papua.

Tidak ada itikad dari Belanda untuk menyerahkan Papua ketangan pemerintahan Indonesia. Justru sebaliknya, Belanda berupaya untuk menghalangi dukungan rakyat di Papua kepada pemerintahan Indonesia, sejak 1950 Belanda menindak tegas kegiatan yang dilakukan rakyat, baik yang asli Papua maupun non-Papua dengan menangkap dan menahan para aktivis pro-Indonesia. (hal 163)

Selama periode 1945 – 1962 Indonesia tidak memiliki wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua secara terbuka. dapat dikatakan proses pengindonesiaan orang Papua yang dilakukan tidak tuntas, baru tahap awal, dan tidak menjangkau sebagian besar masyarakat Papua di pedalaman.

Sebaliknya, berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Papua sangat hati-hati dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Papua/Nieuw Guinea sesuai dengan permintaan dan kebutuhan orang-orang Papua.
Katakanlah bahwa ini suatu bentuk “Etis-Politik Gaya Baru”. Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk “Nasionalisme Papua”. Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.

Sampai di sinilah masyarakat Papua terbelah menjadi dua: yang pro-Indonesia dan Belanda. Babak selanjutnya adalah “perebutan” Papua oleh Indonesia dan Belanda yang berakhir secara resmi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menggambarkan sebagian besar masyarakat Papua ingin berintegrasi dengan Indonesia

Kompleksitas perdebatan status politik integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia hingga kini menjadi perdebatan tanpa henti. Rakyat papua beranggapan proses integrasi dan Pepera 1969 menjadi salah satu contoh bagaimana “manipulasi” sejarah Indonesia merebut tanah Papua. Klaim yang berdasar pada legitimasi hukum PBB yang mengesahkan Pepera 1969 dan menyatakan Papua bergabung ke Indonesia seakan berbeda dengan rakyat Papua dan beberapa klaim penelitian yang menyebutkan bahwa Pepera 1969 hanyalah rekayasa

Walaupun hasil Pepera menunjukan bahwa Papua merupakan bagian yang sah dari wilayah NKRI, masalah Papua masih terus bergolak hingga dewasa ini. Munculnya keraguan terhadap hasil Pepera 1969 pada sebagian masyarakat di Papua mungkin dikaitkan dengan pernyataan Amir Mahmud sekembalinya dari peninjauan Pepera 1969, bahwa sebagian besar rakyat Papua belum sadar politik, maka penduduknya cukup menyebut “Soeharto, Merah Putih, dan Indonesia“. Dia juga menegaskan, “kenyataan menunjukan bahwa sebagian terbesar dari penduduk tidak bersimpati kepada RI”.
“tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrate Sofyan Yoman. Pernytataan ini memiliki dasar yang kuat sehingga sulit untuk disangga.

Kini nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia masih sebuah dilematis bagi rakyat Papua. IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) adalah persoalan pengindonesian rakyat Papua yang tidak pernah tertuntaskan sampai sekarang sehingga dilema yang terjadi bukan lagi “ikut RI” atau “ikut Nederland” tetapi sudah pada mencari pilihan lain yaitu hak menentukan nasib sendiri alias MERDEKA.

Masalah Papua tak juga kunjung selesai sampai sekarang. Belakangan, berbagai peristiwa penembakan terhadap warga dan aparat sering kali terjadi. Keamanan dan stabilitas di Papua belum juga tercipta. Pendekatan militer yang ditempuh pemerintah Indonesia rupanya justru makin meningkatkan militansi dan perlawanan kaum separatis seperti yang dulu dicurigai sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, ketika pendekatan ini perlahan-lahan diubah dengan memberi Papua otonomi khusus, ternyata masalah juga tak kunjung selesai. Mengapa Papua terus bergolak?

Bisa disimpulkan bahwa Nasionalisme Papua terkonstruksi ole beberapa factor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite papua yang mersakan persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timbang dan semakin menunjukan perasaan berbeda. Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan termaginalisasi orang Papua di daerah sendiri (chauvel 2005; Widjojo dkk 2009:9)
Daripada terjebak pada interpretasi yang bertentangan terus menerus sepertia yang dialami sekarang ini, seharusnya kedua belah pihak dimungkinkan untuk menyetujui atau menyepakati elemen-elemen sejarah tertentu sebagai kebenaran yang diterima bersama. Jika itu dilakukan maka akan terbuka kemungkinan kesalahan-kesalahan pada masa lalu diperbaiki dan kekecewaan-kekecewaan yang sudah berlangsung lama dapat ditangani.
Secara khusus, pemerintah seharusnya bersiap-siap untuk mengakui memoria pasionnis orang Papua dan menyampaikan permohonan maaf kolektif secara bermartabat atas kesalahan dan penderitaan pada masa lalu, seperti pernah dilakukan untuk Timor Timur dan Aceh. Pemerintah seharusnya memeriksa kembali kejadian-kejadian di seputar pepera 1969 dan percaya diri dalam melakukan hal itu, tanpa dihantui ketakutan bahwa kedaulatan Indonesia atas Papua akan terganggu.

Menutup materi diskusi ini saya mengutip buku Meracik Wacana, Melacak Indonesia. Hasyim Wahid, dkk tentang What’s Next? Globalisasi:
"Globalisasi telah melanda Indonesia bagai air bah. Sekarang pilihannya adalah kita mau berenang atau tenggelam. Jika kita tidak memiliki kesadaran akan masa lalu, maka pengetahuann up to date untuk masa sekarang juga tidak ada.

Kita juga mesti memiliki kesadaran akan fakta sejarah mengenai terjadinya gelombang pembuangan sampah peradaban Eropa. Gelombang 1 pembuangan sampah peradaban ini ke ke benua Amerika telah mengakibatkan musnahnya jutaan suku Indian, penduduk asli Amerika yang telah memiliki peradaban tinggi. Kemudian gelombang 2 pembuangan sampah peradaban ke Asutralia telah menimbulkan pemusanahan pada suku Aborigin.
Dari fakta ini kita mesti menyadari bahwa mungkin saja mereka akan melakukan pembuangan sampah peradaban gelombang 3. Bisa saja Irian Jaya (Papua) dan Papua Nugini dimerger lalu dijadikan tempat pembuangan berikutnya, toh korbannya paling cuma 6 juta orang Papua saja.

Melihat hal ini, pemerintah Indonesia harus waspada atas setiap isu yang ada tentang Papua. Masyarakat Papua juga harus bisa bersikap dewasa. Jangan karena rezim Orba berbuat salah, kemudian kecewa dan melawan pemerintah NKRI. Karena bagaimanapun kekecewaan itu sangat rentan untuk ditunggangi oleh Barat agar Papua bisa pisah dari NKRI. Rakyat Timor-Timur yang kini menyesal setelah menjadi Timur Leste perlu menjadi pelajaran bagi orang Papua. Bahwa lepas dari NKRI bukanlah pilihan yang tepat. Jika orang Papua masih tetap ngotot merdeka, maka tunggulah saatnya mereka sebagai etnis akan lenyap bagaikan suku Indian dan Aborigin".

*Tulisan ini telah dimuat terlebih dahulu dengan judul yang sama pada theglobal-review.com.

17.28 - No comments

MASA DEPAN SULUT DI PASIFIC

Sarundajang berharap WOC akan menjadi momentum penting penyelamatan ekosistem global melalui itikad baik setiap negara dan pihak di seluruh belahan dunia untuk membuka diri membangun komitmen yang akan termuat dalam Manado Ocean Declaration. WOC pada gilirannya membangun hegemoni Indonesia di bidang diplomasi, karena berbagai capaian gemilang yang berhasil ditoreh menyangkut masa depan Global. Umbas (2009:11).

Amerika Serikat memandang WOC sebagai sebuah arena penting untuk menjawab persoalan global di bidang laut dan lingkungan. "WOC memberi kesempatan kepada seluruh dunia untuk bersatu dalam suatu kekhawatiran yang sama dan saya mendorong anda semua untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya" ujar Hillary (MenLu AS).
Selain itu, Hillary juga menegaskan tentang keterkaitan sistem kelautan dengan perubahan iklim global. langkah-langkah internasional menurut Hillary sangat diperlukan untuk menemukan solusi ilmiah atas berbagai masalah yang dihadapi.AS memang menjadi negara pendukung CTI, dan meberi perhatian serius terhadap masalah perlindungan wilayah pesisir dan kelautan di Indonesia. Umbas (2009:12)
Amerika memang cukup memberi perhatian pada penyelenggaraan WOC dan CTI Summit. sebab, sejak ide ini digulirkan negara adidaya ini memberi apresiasi yang juga terkait dengan berbagai proyek penelitian dan keilmuan mereka di Indonesa. "ini untuk menunjukan kapasitas kami dalam bidang kebijakan dan ilmu pengetahuan." kata Richard Spinrad, Asisten Administrator untuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric Research). Umbas (2009:14)
Dari beberapa kutipan buku SULUT MENDUNIA di atas sangat jelas begitu besar kepentingan AS didalamnya. Secara geopolitik penempatan hajatan besar ini di Manado bukanlah tidak memiliki alasan kuat bagi negara sekelas AS. sekali tepuk dua lalat, mungkin cocok untuk hasil yang diperoleh AS dari hajatan ini. pertama, kita telah menelan dengan menta dan memuluskan sekaligus mendukung baik issu perubahan iklim dan pemanasan global yang digemborkan AS di kawasan Asia Tenggara. kedua, AS merebut Utara Indonesia sebagai perluasan wilayah kekuasaan untuk kepentingannya di Pasifik (sengketa wilayah Laut Cina Selatan).
Menyangkut masalah perubahan iklim dan pemanasan global, Vaclav Klaus dalam pengantar untuk edisi bahasa Indonesia pada buku "Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim" menyangkan masih ada sejumlah besar politisi dan tokoh masyarakat yang tidak ragu-ragu dalam mempromosikan doktrin pemanasan global yang tidak jelas ini dengan dalih "untuk kepentingan orang banyak" dan 'untuk menyelamatkan dunia". Doktrin ini tidak hanya mengancam kebebasan individu, tetapi juga merupakan intervensi ekonomi yang luar biasa besar dalam bentuk peraturan dan subsidi yang tidak masuk akal. Berkat dorongan politik dan konotasi penyelamatannya, hal ini telah menjadi bisnis menguntungkan sekaligus instrumen inovasi politik kaum intelektual sosialis dan kiri dalam perjuangan mereka menentang kebebasan pasar dan kapitalisme.
Terkait kepentingan AS di pasifik dan letak strategis Sulut di Bibir Pasifik yang secara keseluruhan dalam kepentingan RI telah diurai oleh Dr. Sam Ratulangi dalam bukunya Indonesia in den Pacific. Takdir inilah yang menyeret Sulut dalam pusaran perebutan kekuasaan negara yang berkepentingan besar di pasifik seperti AS dan Tiongkok. Dalam pusaran kepentingan dua negara besar ini, Sulut sudah seharusnya waspada terhadap skema penggiringan wilayah ini menjadi zona proxi war antara dua negara ini.
Secara geopolitik perebutan Sulawesi Utara antara AS dan Tiongkok bukanlah sesuatu yang terselubung lagi karena Tiongkok juga telah menancapkan cengkramannya di wilayah ini dengan memanfaatkan kota Bitung dalam program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Alhasil, dua negara yang berkepentingan besar di pasifik ini telah menggenggam Sulut; AS di Manado dengan WOCnya dan Tiongkok dengan KEKnya di Bitung. Hal ini juga sejalan dengan amatan dan kajian Hendrajit dan M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute dalam tulisan “Takdir Geopolitik Indonesia di Tengah Pertarungan Global AS-Cina di Asia Pasifik” dan “Manado-Bitung Sasaran Proxy War AS-Cina Sejak 1998
Dengan tulisan yang masih jauh dari kesempurnaan ini semoga kita bisa mengambil hal positif sehingga bisa belajar dari apa yang telah terjadi di Ukraina dan Yaman, dan NYIUR SEMAKIN MELAMBAI DI INDONESIA BAHKAN DUNIA.

*tulisan ini juga dimuat lebih dahulu di theglobal-review.com dengan judul "Membayangkan Masa Depan Sulut dalam Kiprah Global".

17.18 - No comments

TRADISI UNTUK ANAK BAYI DI SANGIHE SIAU

MULUANG GAHI
muluang gahi adalah salah satu kearifan lokal yang masih hidup di Siau, kampung Laghaeng dan beberapa kampung lainnya masih menjaga dengan baik kearifan ini hingga saat ini.
Muluang gahi dilakukan oleh orang tua kepada anaknya jika keturunan atau anak mereka persis mukanya (Gahi) dengan salah satu orang tua. Dipercaya jika anak yang lahir persis mukanya dengan ayah atau ibunya itu akan sering sakit-sakitan dan tidak akan berumur panjang. Untuk menghilangkan, mengobati atau mencegah hal yang buruk ini terjadi maka orang tua yang persis mukanya dari anak tersebut harus 'MEMBELI MUKA (RAUT WAJAH)' anaknya tersebut, dalam bahasa lokal inilah yang disebut dengan tradisi 'MULUANG GAHI'. Uang hasil membeli itu dimasukan ke kas Gereja. Demikian tradisi ini dilakukan dan terjaga hinga sekarang.

MANGAUNG HIWA

Mangaung Hiwa termasuk tradisi atau kearifan lokal Sangihe Siau yang masih terjaga hingga sekarang ini. Hampir semua wilayah masih mempertahankan kearifan lokal ini. Mangaung hiwa dilakukan pada saat orang tua merasah bahwa anak mereka sering sakit-sakitan karena ulah atau kesalahan mereka. Mereka merasakan pangkuan mereka tidak hangat lagi bagi si anak maka perlu pangkuan yang lebih adem demi kelanjutan pertumbuhan sang anak baik fisik maupun mental spiritual. Maka dicarilah orang tua tersebut untuk dilakukan prosesi melepas pangkuan atau mengangkat anak dari pangkuan yang tidak hangat (orang tua kandung) ke pangkuan yang lebih adem (orang tua yang sudah ditentukan/dipilih). Jadi sederhananya proses ini seperti mengangkat dan meletakan kembali ke pangkuan yang lain dalam bahasa lokal disebutlah MANGAUNG HIWA.
Prosesi mangaung hiwa: biasanya telah dihadiri oleh beberapa kerabat terdekat ada juga yang sengaja di'note' (undang).
Orang tua melakukan sembahyang secara pribadi sebelumnya dihadapan piring yang berisi air juga daun tawaan (dakalung tawaang) dan dakalu kalu haghi, daun ini umumnya dipakai untuk batas tanah (pusarang). Ini dijadikan sebagai penyejuk (TATAHULENDING) dengan cara mengibaskan atau memancarkan air tersebut ke beberapa bagian rumah dengan manggunakan dakalung tawaang atau kalu haghi tadi.
Selanjutnya kedua pasangan orang tua duduk berhadapan, orang tua kandung yang sementara memangku anaknya dan bersiap menyerahkan, mengucapkan doa dan harapan:
'' i kami dua singkawingang mupupendang sulralrung pudalrahiking i kami dua maulri salrane. Su salra ii aramanungu nakoa lrawe su ana ii, haki u tatuwone masau sahindakeng. Nau ipupendang hiwa i kami dua ko seng mateti. Nau su orase ii iaung, ionggo su hiwa malralrending''
kemudian menyerahkan anak kepada orang tua yang dipilih tadi.
Orang tua yang menerima mengucapkan doa dan syukur
''su tengong komolrang ko mawantuge nangilembong su tengong Mawu Ruata makoa kere sahiding su orase ii, i kami dua singkawingang dingang naung malruase manarima ana ii, i hiking kere ana i kami dua tutune. Mawu Mangalramate''.
Air yang ada di piring tadi kemudian dibasuh ke raut muka si anak sebagai bentuk hiwa telah niaung. Biasanya akhir-akhir ini, prosesi ini dilanjutkan dengan ibadah syukur.
Demikian tradisi ini dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi.

MUNDEME ANA
dari penyebutannya kearifan lokal ini kedengeran negatif karena mundeme ana terjemahan harfianya adalah ‘membuang anak’. Tapi tidaklah demikian adanya. Tradisi mundeme ana ini dilakukan penyebabnya hampir sama dengan tradisi 'muluang gahi' dan 'mengaung hiwa' yang ditulis sebelumnya. Yang membedakan hanyala pada prosesi. Pada mundeme ana ini, prosesinya dilakukan dengan meletakan anak di tengah jalan menuju rumah orang tua, anak diletakan di atas 'kalrekube' (pelepa daun pinang) kemudian orang tua target untuk anak yang dibuang ini berjalan dan memungut anak ini (seolaholah) menemukannya. Kemudian sesampai dirumah orang tua anak tersebut, orang tua yang menemukan itu mengumumkan kabar gembira ini ke orang banyak yang sudah hadir (di note) saat itu. Biasanya ditutup dengan ibadah syukuran keluarga.
Dari 3 prosesi kearifan lokal ini (muluang gahi, mangaung hiwa, mundeme ana) biasanya selalu diakhiri dengan menanam pohon untuk si anak ini sebagai pertanda kehidupan. Pohon yang ditanam umumnya adalah pohon kelapa, karena pohon kelapa hampir seluruhnya bisa digunakan (akar hingga daunya) serba guna. Harapan anak bisa bertumbuh dan berguna untuk orang banyak.
Demikian kearifan lokal untuk anak-anak bayi yang masih hidup di tanah karangetang Siau.

17.07 - 1 comment

MENEMUKAN NASIONALISME DALAM BAHASA INDONESIA

Soekarno tiba-tiba meloncat ke atas meja dan berkata keras; “Tidak. Saya tidak setuju! Tanah kebanggaan kita ini dulu pernah bernama Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti di antara. Nusantara berarti ribuan pulau-pulau, dan banyak di antara pulau-pulau ini yang lebih besar daripada seluruh negeri Belanda. Jumlah penduduk negeri Belanda hanya segelintir jika dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipergunakan oleh enam juta manusia. Mengapa suatu negeri kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasi suatu bangsa yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga dapat mengalahkan Kublai Khan yang kuat itu? Saya berpendapat, bahwa yang pertama-tama harus kita kuasi adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang menjadi bahasa diplomatik. Belanda berkulit putih. Kita sawomatang. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam. Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?!

Penggalan sejarah yang heroik di atas mengilhami tulisan sederhana yang tidak ilmiah ini, jika ada kekurangan dan perbedaan pendapat harap maklum.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa persatuan, bahasa IPTEK dan seni, dan sebagai bahasa dalam pembangunan telah menenmpatkan posisinya sebagai suatu kebanggan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebaga bahasa negara, bahasa Indonesia dinyatakan kedudukanya pada 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang didalamnya menyebutkan bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia sudah jelas sebagai pemersatu suku bangsa yang beraneka ragam yang ada di Indonesia. Bahas Indonesia juga mampu mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pendidikan, pengembangan ilmu, teknologi, serta seni. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan dan penyampaian ilmu pengetahuan kepada semua kalangan dan tingkat pendidikan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia kurang diminati atau disoroti sebagai bagian yang perlu diangkat ketika pembahasan kita merujuk pada nasionalisme dan bela negara, padahal bahasa itu sendiri adalah lambang kebanggan dan identitas sebuah bangsa. Mungkin kita harus resapi kembali maksud Liberty Malik dalam lirik lagu Satu Nusa Satu Bangsa; “nusa, bangsa dan bahasa, kita bela bersama”. Disinilah puncak nasionalisme seorang Liberty Malik ketika menyertakan pentingnya bahasa di tengah kepentingan NKRI secara wilayah geografi (nusa) dan kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri (bangsa). Pentingnya bahasa dimata Malik jika dipandang dari sudut pandang global akan tersirat ungkapan ‘bahasa menunjukkan kedudukan’.

Permasalahan bahasa Indonesia di negeri sangatlah kompleks. Hal ini senada dengan Hasan Alwi (2011) dalam tulisannya Politik Bahasa Nasional menegaskan bahwa masalah kebahasaan Indonesia memperlihatkan ciri yang sangat kompleks. Hal itu berkaitan dengan tiga aspek, yaitu menyangkut bahasa, pemakai bahasa, dan pemakaian bahasa. Aspek bahasa menyangkut bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Aspek pemakai bahasa terutama berkaitan dengan mutu dang keterampilan berbahasa seseorang. Dalam perilaku berbahasa tidak saja terlihat mutu dan keterampilan berbahasa, tetapi juga sekaligus dapat diamati apa yang sering disebut sebagai sikap pemakai bahasa terhadap bahasa yang digunakannya. Adapun aspek pemakaian bahasa mengacu pada bidang-bidang kehidupan yang merupakan ranah pemakaian bahasa. Pengaturan masalah kebahasaan yang kompleks itu perlu didasarkan pada kehendak politik yang mantap.

Pergulatan tentang bahasa ini memang sudah mendapat perhatian dari pemerhati bahasa sejak seminar 1975 yang menghasilkan Politik Bahasa Nasional setakat Kebijakan Bahasa Nasional hasil seminar 1999 juga risalah kongres bahasa Indonesia VIII semuanya sama-sama membahas dan merumuskan berbagai masalah kebahasaan di Indonesia yang perlu ditangani. Hal ini berbuah pada Undang-Undang republik Indonesia No 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

Meskipun rumusan tentang kebijakan dan perencanaan bahasa telah ada, namun dalam realita berbangsa penggunaan bahasa Indonesia masih jauh dari harapan. Pemasalahan muncul bisa diyakini karena ketidakpercayaan diri bangsa kita dalam menggunakan bahasa Indonesia. Mental inlander terus menghantui bangsa ini sehingga bahasa sendiri dirasa kurang berbobot dibanding bahasa asing. Bangsa Indonesia sekarang ini kurang menghargai bahasa Indonesia, buktinya banyak tempat, nama sekolah, nama bangunan dll menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing. Sangat sedih melihat ini, karena pendiri bangsa ini sudah berjuang untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, identitas bangsa, kebanggaan bangsa namun lebih disayangkan juga banyak para pejabat menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur bahasa Inggris dan bahasa asing. Bahasa asing dan bahasa Inggris dirasa lebih intelek daripada bahasa Indonesia itu sendiri. Ini penjajahan gaya baru pada bangsa kita yang tidak kita sadari dan dianggap hal biasa-biasa saja. Mari kita sebut ini sebagai penjajahan bahasa.

Waktu terus berputar, perubahan zaman senantiasa terjadi terlebih di era globalisasi abad ke -21 ini. Perkembangan dan kemajuan pada bidang teknologi dan informasi secara langsung akan mempengaruhi semua lini kehidupan dan ini sudah tentu berdampak pula pada keberlangsungan kehidupan kebahasaan di Indonesia. Hal ini merupakan tantangan yang baru dan besar bagi bahasa Indonesia. Kita tidak bisa mungkir bahwa dalam peningkatan interaksi global memerlukan bahasa sebagai alat berkomunikasi dan bahasa asing menjadi satu modal utama keunggulan kompetetif. Bahasa asing menjadi lebih penting dan menjadi ciri SDM yang berkualitas. Di sini kita melihat letak pemakai bahasa berperan penting menempatkan posisinya dalam berbahasa. Kapan, dimana, dan bagaimana kita berbahasa yang baik tanpa menyepelehkan Identitas diri kita sebagai satu bangsa yang memiliki bahasa sendiri.

Sangatlah rumit menempatkan bahasa Indonesia di tengah gempuran bahasa asing dan di sisi lain ada pelestarian bahasa daerah. Chaedar Alwasilah (2012) mengemukakan, globalisasi, di satu pihak, memunculkan hegemoni dan imperialisme bahasa sehingga kita ditantang untuk beraksara dalam bahasa nasional dan asing. Di pihak lain, di kota-kota kecil globalisasi juga memunculkan kecenderungan monolingualisme, yakni kebiasaan beraksara dalam bahasa Indonesia dan meninggalkan bahasa daerah. Untuk mengimbangi globalisasi ini, bangsa Indonesia harus memiliki strategi sendiri, strategi kebudayaan, antara lain dengan mengandalkan dan memberdayakan kearifan lokal, termasuk pemberdayaan dan revitalisasi bahasa daerah. Ketahanan budaya dalam strategi kebudayaan harus berpangkal pada pemikiran budaya yang menimbulkan rasa bangga.

Kekaguman yang sangat berlebihan terhadap bahasa asing merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi bangsa ini. Dampak globalisasi sangat besar sehingga bangsa Indonesia seolah tidak berdaya jika tidak menguasai bahasa asing dan bahasa Inggris. Pelemahan dari segi opini bahwa bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah tidak mampu dan tidak siap bersaing dengan bahasa asing dan Inggris semakin memperparah kondisi bahasa kita. Dalam pengamatannya terhadap terhadap prilaku berbahasa, khususnya para diplomat Indonesia di luar negeri, Ajip Rosidi yang dikutip dalam Alwasilah (2012) mengatakan bahwa bahasa negara kita “direndahkan dan dihina di tanah air kita sendiri dan juga diperwakilan-perwakilan kita di negeri orang oleh orang kita sendiri tanpa ada yang membelanya”. Miskinnya panutan berbahasa yang baik dari pemimpin bangsa dan kaum intelektual berimbas pada tidak bangkitnya mental inlander dalam berbahasa bangsa ini. Di sini bisa dilihat bahwa ancaman penjajahan bahasa indonesia ini bukanlah bahasa Inggris atau bahasa asing melainkan bangsa Indonesia sendiri yang kurang percaya diri dengan bahasa Indonesia.

Di lembaga pendidikan, pendidkan bahasa Indonesia menjadi musuh besar bagi kalangan siswa dan mahasiswa. Menurut Chaedar Alwasilah (2012) Ini dikarenakan praktik pengajaran bahasa yang tidak inovatif dan tidak kreatif. Lanjutnya, rendahnya kemampuan menulis akademik para lulusan universitas menunjukan lemahnya literasi bangsa sebagai bukti gagalnya pengajaran di tingkat sekolah dasar sampai dengan universitas. Dalam hal menulis, Alwasilah (2005) mengungkapkan bahwa belajar menulis itu seperti belajar kungfu, seyogianya berguru kepada “sang jagoan” yang dibuktikan dengan karya-karyanya yang telah dipublikasikan. Publikasi itu juga penting dipajang untuk menanamkan kepercayaang para murid akan kepakaran sang suhu. Dosen-dosen yang berkhotbah ihwal menulis tanpa unjuk publikasi akan sulit mendapat kepercayaan muridnya. Mungkin ini salah satu penyebab saat ini jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secarah keseluruhan masih lebih rendah dibandingkan dengan malaysia. Wajar jika Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai orang pertama yang bertanggung jawab ini marah atau jengkel karena lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Chaedar alwasilah dalam tulisanya (Bukan) Bangsa Penulis. 2012.

Dari sorotan lembaga pendidikan selanjutnya kita melihat bahasa dalam media, baik surat kabar, radio, dan televisi. Mengutip beberapa pendapat Djafar Assegaf dalam tulisannya “bahasa koran, radio, dan televisi perlu pembenahan menyeluruh” mengatakan, secara terus terang bahwa media massa, yakni surat kabar, radio dan televisi tidak berkembang lebih bagus dalam penggunaan bahasa, malah sebaliknya bahasa pers, radio dan televisi mengalami penurunan dalam mutu penggunaan bahasa Indonesia yang baku. Bahasa media massa sudah menjadi “bahasa gado-gado” karena begitu banyaknya masuk istilah-istilah bahasa asing terutama Inggris yang sudah ada padananya dalam bahasa Indonesia tapi tidak dipakai. Akibatnya, masyarakat intelektual dan pemimpin kita berbahasa dalam bahasa gado-gado, tak ubahnya dengan bangsa dalam peradaban meztizo yang lebih bangga karena bahasanya bercampur dengan bahasa asing.

Kondisi masyarakat Indonesia dan hubunganya dalam kreatif berbahasa ditulis baik dan jelas oleh Andar Ismail (2015), tulisnya, kita memang bangsa yang kreatif dalam urusan bahasa. Bukan kreatif menghasilkan gramatika berbahasa dengan baik dan benar. Bukan pula menghasilkan karya tulis yang bermutu. Melainkan kreatif menghasilkan idiom yang menyamarkan suap-menyuap atau sogok-menyogok alias korupsi. Jangan heran kalau mendengar idiom seperti uang rokok, uang transport, uang makan, uang persembahan, uang terima kasih, uang tinta, uang lelah, uang jalan, uang pelicin, uang kertas, uang pulsa, dan masih banyak lagi. Itulah negeri kita, suap-menyuap, sogok-menyogok alias korupsi terbungkus rapi dan bergulir terus tersamar dalam bahasa yang santun.

Menengok bahasa Indonesia dalam karya sastra, dalam mengurai kehidupan manusia, seorang penulis mengimajinasikan pikiran-pikiran atau idenya berlandaskan pada realitas kehidupan guna menyentuh secara langsung sisi kehidupan kelompok masyarakat sehingga menghasilkan karya yang memiliki nilai ajaran moral yang tinggi bagi masyarakat secara umum dan penikmat hasil karya satra secara khusus. Demikianlah sastra, dulce et utile. Namun tidak bisa dipungkiri kalau karya sastra seperti novel, cerpen banyak ditulis dengan menggunakan dialek dan bahasa gaul khas remaja yang jelas-jelas melenceng dari niatan untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karya seperti ini merajalela di pasar dan banyak diburu pembaca pemula. Hal ini berimbas pada bahasa lisan yang nantinya mereka pakai dalam presentasi formal dalam dunia pendidikan. Saatnya kita merevitalisasi karya sastra anak bangsa guna menggali jati diri, budaya dan kreativitas anak bangsa sebagai penangkal arus globalisasi yang masuk mulus di negeri ini.

Harus kita akui betapa pentingnya pemartabatan sastra nasional sebagai alat pembangunan bangsa dan negara. Sebenarnya bila dikemas dengan baik sastra Indonesia akan bisa go international dan banggalah negeri ini. Siapa yang tidak bangga penulis-penulis hebat seperti Pramoedya Ananta Toer, Habiburrahman El-Shirazi, Andrea Hirata dan beberapa lainya menjadi pembicaraan di level international.

Bagaimana di Indonesia? Apakah masyarakatnya gemar membaca, ataukah kita masih tenggelam dalam budaya “dengar dan bicara”?. Tidak perlu dipikir lebih jauh karena jika hasil tulisan bangsanya sedikit berarti bangsa itu juga malas membaca. Realitanya, kaum pelajar terlebih mahasiswa lebih gemar berburu pernik untuk gaya dan model yang lebih modern dari pada ke tokoh buku berburuh buku yang terbaru. Atau paling tidak berdalih dengan adanya google, tinggal ketik dan berselancar sudah ditemukan topik yang dicari. Janganlah heran kalau generasi saat ini adalah generasi yang menyimpan ilmunya di internet, di otak tidak apalagi perasaan dan tindakan.

Perfilman Indonesia sebagai sastra yang komplit diserbu oleh film Hollywood dan Bollywood, dan kini drama Korea meramba remaja-remaja Indonesia. Sinetron di televisi Indonesia tidak diminati karena tidak kreatif dan kebanyakan meniruh cerita dari perfilman luar negeri. Judulnya terkadang menggunakan bahasa asing meski seting dan ceritanya di Indonesia dan bahasa indonesia. Penjudulan film di bangsa ini juga kadang-kadang melenceng dari karakter budaya kita, carut-marut bahkan kedengaran aneh. Contoh, tahun di 1980-an Nafsu Gila, Nafsu Besar Tenaga Kurang, Ganasnya Nafsu, Saat Saat Kau Berbaring Di Dadaku, Gairah Yang Nakal, tahun 1990-an Ranjang Yang Ternoda, Ranjang Pemikat, Godaan Membara, Wanita Dalam Gairah, Permainan Binal, Getaran Nafsu, Gairah Yang Panas, Bisikan Nafsu, Gejolak Seksual, Puncak Kenikmatan. Judul yang aneh-aneh juga muncul kisaran tahun 2008 terutama di film-film yang berbauh horor. Seperti Hantu Jeruk Purut, Pocong, Dendam Pocong, Leak, Terowongan Casablanca, Ada Hantu Disekolah, Paku Kuntilanak, Suster Ngesot, Kutukan Suster Ngesot, Tali Pocong Perawan, Susuk Pocong, Diperkosa Setan, Rintihan Arwah Perawan, Kain Kafan Perawan dan paling aneh 2010 ada judul film Hantu Puncak Datang Bulan yang kemudian diubah menjadi Dendanm Pocong Mupeng. Jika begini, bagamiana nanti karya perfilman kita akan memupuk rasa bangga?. Karya yang kita hasilkan lebih mengejar keuntungan ekonomi bukan membangun bangsa yang terdidik dan bermartabat. Banyak penulis tertarik berkarya hanya untuk komersilal semata sedang kepentingan dan harga diri bangsa terabai.

Di sekeliling kita, banyak pemberitahuan dan pengumuman ditulis dalam bahasa asing dan bahasa Inggris. Pemberitahuan dan pengumuman yang ditulis dalam bahasa asing atau bahasa Inggris itu kurang mendukung pembangunan bangsa. Di sana kelihatan kita hanya tampil gaya tapi tidak berdaya, kelihatan dekoratif tapi tidak komunikatif. Teks-teks seperti ini tampil pongah diskriminatif terhadap mayoritas anggota masyarakat pembaca itu sendiri.

Pergulatan membela, membina dan mengembangkan bahasa Indonesia adalah pekerjaan yang besar. Kelihatan sepele sehingga terkadang hal yang salah yang sudah biasa kita lakukan kita benarkan. Memanggil tampil di depan dengan kalimat “silakan maju ke depan”, kata imbau jadi “himbau”, diubah jadi “dirubah”, dan masih banyak lagi kesalahan yang kita biasakan tapi kita anggap benar karena menganggap remeh bahasa Indonesia.

Memang tak dipungkiri juga Ejaan Yang Disempurnakan pun masih ada kekurangan. Ajip Rosidi (2010) menegaskan bahwa kalau kita teliti lebih cermat, seluruh EYD penuh dengan ketidakonsistenan. hal ini sebenarnya aneh karena EYD dipromosikan dengan payung “pembakuan bahasa”. Artinya EYD seharusnya menjadi rujukan bagi mereka yang ingin berbahasa Indonesia baku. Kalau rujukannya tidak konsisten bagaimana bisa kita menumbuhkan sesuatu yang baku?.

Bagaimana pun kondisi bahasa Indonesia saat ini kita tetap diajak untuk tidak letih mencintai bahasa Indonesia, tidak lelah membanggakan bahasa Indonesia sebagai kekayaan dan identitas bangsa kita. Agar bahasa Indonesia tidak semakin terjermbab, Anton Muliono menegaskan bahwa bahasa Indonesia akan menempati kedudukannya yang terhormat jika sumber daya manusia yang jadi penuturnya menjadikan bahasa itu bahasa yang patut dimahiri dan dikuasai. Jika sudah demikian kita akan berdiri tegak dan mendongakkan kepala kita sambil berucap “Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan BAHASA INDONESIA. Tetap tegak berdiri sambil bernyanyi;

Satu nusa
Satu bangsa
Satu bahasa kita

Tanah air
Pasti jaya
Untuk Selama-lamanya

Indonesia pusaka
Indonesia tercinta
Nusa bangsa
Dan Bahasa
Kita bela bersama

Saat itulah tanpa sadar kita telah membuat para pendahulu kita bangga, Liberty Malik hidup kembali dengan semangat nasionalismenya dan ibu Pertiwi tersenyum bahagia.