Rabu, 25 November 2015

22.06 - No comments

Sulawesi Utara dan Betapa Gurihnya Indonesia di Mata Dunia

 
Mengapa kita harus memiliki pengetahuan tentang wawasan nusantara? Karena dari wawasan nusantara ini kita bisa memahami geostrategi maupun geopolitik. Soekarno pernah berkata; Orang tidak bisa menyusun pertahanan nasional yang kuat, orang tidak bisa membangun bangsa yang kuat, kalau tidak berdasarkan pengetahuan geopolitik.
 

Terkait dengan pembangunan infrastruktur, dalam kajian Global Future Institute (GFI) pimpinan Hendrajit, kita (Indonesia) bisa menyerap inspirasi dari Rusia terkait dengan Proyek lintas perbatasan yang menghubungkan Timur dan Barat sebagai upaya membangun dampak positif dan menguntungkan bagi koneksitas berskala global. Yang mana, pembangunan ekonomi di Siberia, wilayah Rusia Timur, dijadikan landasan untuk menjadikan Siberia yang semula merupakan “halaman belakang” menjadi “halaman muka” karena Siberia merupakan pintu gerbang Rusia ke Asia Pasifik melalui jalur timur.
 
Seperti Rusia, Indonesia harus kembali menatap ke utara. Saatnya memanfaatkan wilayah utara sebagai pintu gerbang untuk menunjukan superior bangsa ini di bidang maritim. Saatnya Utara dilihat lagi sebagai “halaman muka” bukan “halaman Belakang” mengingat letak wilayahnya tepat di bibir pacific. Manfaatkan bibir pacific agar kita dapat berbicara lebih jauh dalam pertarungan global di pacific. Mari memandang Indonesia bukan dari barat ke timur saja, tapi utara ke selatan. Mari membicarakan Indonesia dari Utara, menatapnya dari atas agar lebih muda mengenalinya.
 
Utara Indonesia harus dibaca dengan cermat agar kita tidak menyesal di hari kemudian. Sulut sebagai provinsi paling utara di Indonesia, yang kini menjadi rebutan antara AS dan Tiongkok seharusnya menjadi topik paling hangat untuk kita bahas dalam persiapan peralihan kepemimpinan di Nyiur Melambai ini. Pasca WOC di Manado oleh AS dan KEK di Bitung oleh Tiongkok, kini AS kembali memperkuat genggamannya melalui pemanfaatan Manado sebagai gerbang utama internet Indoensia. Tanpa henti-hentinya dua Negara adi kuasa ini beradu strategi dalam perebutan pacific dan pemanfaatn Sulut sebagai perluasan wilayah perang asimetris.
 
Lihatlah, betapa gurihnya Indonesia di mata dunia, betapa cantik dan menawannya Ibu Pertiwi di mata paman Sam dan paman Mao. Jika tidak bisa membaca arah gerakan dua Negara adi kuasa ini untuk Indonesia, bukan tidak mungkin, ke depannya kita sebagai bangsa hanya akan jadi bulan-bulanan Negara asing karena kita tidak bisa berdaulat di darat, laut, maupun udara. Kita Negara besar, tidak mungkin bisa dihancurkan, sengaja karena kita hanya dipelihara sebagai masyarakat konsumen yang mengonsumsi produk Negara penguasa. Di jaga dengan baik sebelum sumber daya alamnya habis digerus, mungkin setelah selesai barulah kita dimusnahkan. Demikianlah masa depan kita.
 
Kembali ke utara Indonesia, mengapa saya sedikit ego ketika menuntut dan mendesak harus melihat Indonesia dari utara. Hal ini sudah bisa kita pahami dengan melihat dan memahami Indonesia dari empat penjuru mata angin. Mari kita lihat; di barat, Aceh ribut dengan GAM yang ingin lepas dari Indonesia; di timur, Papua bergejolak dengan OPM yang ingin lepas dari ibu Pertiwi; di selatan, Timor Leste sudah lepas dari NKRI. Di utara Indonesia, tidak ada gejolak apa pun. Utara Indonesia selama ini setia mengawal NKRI. Jangan sampai, sekali lagi jangan sampai ke depanya karena konflik global di pacific dan pertarungan asing di utara Indonesia ini akan mengakibatkan konflik social pada tataran masyarakat dan mengakibatkan adanya sparatis seperti yang terjadi di tiga penjuru negeri ini. Karena memang demikianlah umumnya nasib Negara yang wilayahnya menjadi proxy war.
 
Apakah salah jika nantinya utara Indonesia meminta perlakuan khusus karena hal-hal tersebut di atas?
Mari berpikir..
 

21.45 - No comments

MENGHANGATKAN KEMBALI SEMANGAT 4th ISQAE UNIMA


Ada pertanyaan provokatif dari seorang ahli pendidik, Drost (1990), ‘untuk apa sebuah perguruan tinggi didirikan?. Maksud dari pertanyaan tersebut adalah supaya ketika kita membahas atau mencermati sejarah perkembangan sebuah lembaga seperti halnya perguruan tinggi, adalah sangat penting untuk kembali kita mengenali visi, misi, dan cita-cita dasarnya agar kita tetap konsisten dan kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman. Keberadaan atau lahirnya sebuah lembaga apalagi perguruan tinggi seperti UNIMA bukanlah muncul begitu saja tanpa ada alasan atau rencana jangka panjang tertentu. Hal ini pasti tersinkron dengan visi dan misi yang dicita-citakan oleh para pendahulu yang menggagas dan mendirikan lembaga tersebut sehingga nantinya turut memberikan arah dan pedoman ke mana arah lembaga ini dijalankan. Untuk lembaga perguruan tinggi sekelas Unima kita perlu kembali mengingat latar historis, konteks social, tuntutan zaman, dan visi para penggagas dan pendirinya sehingga nanti kita bisa melihat dan membaca bagaimana proses kesinambungan dan perubahan dalam sejarah perkembangan perguruan tinggi yang kita cintai ini.
 
Drost (1990), menjawab pertanyaannya tersebut dengan menyebutkan bahwa; salah satu tujuan utama sebuah perguruan tinggi didirikan, dimanapun dan kapanpun adalah untuk membentuk kader-kader intelektual demi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi,dan demi pembangunan bangsa dan negara di sisi lain. Dan salah satu unsur dari civitas akademika perguruan tinggi yaitu para mahasiswanya. Mahasiswa juga dididik dengan maksud agar mereka menjadi manusia yang utuh dengan kualitas intelektual dan moral yang baik demi kemajuan, kesejahteraan, dan kemerdekaan manusia lainnya dalam lingkup profesi masing-masing. Tujuan yang masih umum ini tentu saja bisa dispesifikkan sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi kita ini dalam konteks jiwa zaman dan tantangan sekitar dan masa depan.
 
Unima memiliki sejarah yang panjang sejak berdirinya pada 1955. UNIMA berasal dari Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) - satu dari empat PTPG yang didirikan pertama di Indonesia yaitu PTPG Batusangkar, PTPG Malang, PTPG Bandung, PTPG Tondano, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 2450/KB/1955 tanggal 22 September 1955. PTPG Tondano mengalami berbagai perubahan: mula-mula menjadi FKIP Universitas Hasanuddin Makassar, lalu berubah menjadi FKIP Unhas Tondano di Manado, FKIP Unsulutteng, IKIP Yogyakarta Cabang Manado, dan terakhir menjadi IKIP Manado yang berdiri sendiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 38 tanggal 8 Maret 1965 juncto Keppres Nomor 275 Tahun 1965 tanggal 14 September 1965. Pada 13 September 2000, IKIP Manado dikonversi menjadi Universitas Negeri Manado berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 2000 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Bapak Yahya Muhaimin pada tanggal 14 Oktober 2000. Berdasarkan Keppres RI Nomor 127 Tahun 2000, memiliki fungsi ganda, yaitu selain menciptakan tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang kependidikan, juga menciptakan tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang non-kependidikan. Visi UNIMA: “Menjadi lembaga yang bermartabat, bermutu, unggul dan kompetitif dalam menyelenggarakan program pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Misi UNIMA: (1)Mewujudkan proses pendidikan yang mampu mengemban fungsi sebagai LPTK dalam menghasilkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional. (2)Mewujudkan pendidikan yang bermutu baik input, proses, maupun output, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. (3)Mewujudkan pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntabel dan produktif melalui tata kelola yang sehat (good governance) dalam bingkai otonomi daerah dan desentralisasi di bidang pendidikan. (4)Mewujudkan kapasitas penelitian yang inovatif dan bermutu dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang pendidikan dan pengajaran, dan pemecahan masalah pembangunan nasional dan daerah. (5)Mewujudkan kapasitas dan mutu transfer teknologi dan seni dalam kerangka pengabdian pada masyarakat dan penguatan revenue generating. (6)Mewujudkan social responsibility dalam kerangka pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia.
 
Pendidikan berkualitas tetapi terjangkau yang sudah diseminarkan di Unima (International seminar on quality and affordable education) merupaka suatu niat baik lembaga ini untuk bertransformasi menuju perguruan tinggi yang diperhitungkan. Niat baik ini haruslah mendapat respon positif dari setiap elemen yang berhubungan langsung dengan lembaga ini, baik civitas akademik maupun masyarakat Sulawesi Utara secara umum. Dengan respon yang baik bukan tidak mungkin mimpi untuk menjadi universitas dengan pendidikan berkualitas tetapi terjangkau ini bisa terwujud. Mimipi untuk mensejajarkan diri dengan beberapa perguruan tinggi terkemuka di negeri ini maupun Asia adalah mutlak untuk bisa dicapai.
 
Menggapai mimpi besar ini pastilah tidak semuda membalikan telapak tangan. Butuh sinergitas bagi kita semua untuk bahu-membahu mewujudkan cita-cita mulia ini. Penyatuan pendapat, persepsi, kritik, saran, motivasi yang benar adalah langka awal paling dasar untuk kita melangka lebih jauh, seperti halnya seminar internasional beberapa hari yang lalu itu. Untuk menjadikan niat baik yang telah diseminarkan itu menjadi lebih ringan untuk dikonsumsi seluruh masyarkat UNIMA maupun Sulut, maka saya membuat tulisan sederhana ini sebagai bagian dukungan untuk transformasi lembaga ini. Tulisan ini tentunya belumlah sempurna, bukan juga sifatnya untuk menggurui, jika ada perbedaan pendapat anggaplah suatu kewajaran dan harap dimaklumi.

‪‎Menarik benang merah hulu dan hilir permasalahan dan solusi perguruan tinggi (UNIMA) menuju lembaga pendidikan berkulitas tetapi terjangaku.

Permasalahan yang perlu mendapat perhatian pada perguruan tinggi yang pertama adalah diskontinuitas antara SMA dan perguruan tinggi yang cenderung memiliki dunianya sendiri-sendiri. Berbeda dengan SD, SMP, dan SMA, kontinuitas kurikulum SMA ke perguruan tinggi agak terputus. Hal ini bisa dilihat dengan berbagai hal seperti registrasi, tes seleksi masuk, migrasi ke kota, pemondokan, tujuan kuliah, dan kesiapan belajar. Masa transisi ini sangat membingungkan mahasiswa dan belum banyak diantisipasi dan diperhatikan oleh pihak-pihak tertentu sehingga muncul kesenjangan antara harapan guru SMA dan dosen perguruan tinggi. Pada umumnya (calon) mahasiswa kurang mengusai keterampilan belajar seperti membaca kritis, menulis akademik, dan keterampilan menggunakan computer yang merupakan kunci sukses belajar di perguruan tinggi. Umumnya di perguruan tinggi yang kita cintai ini tidak menyediakan program remedial bagi mahasiswa baru.
 
Kedua, tidak jelas tujuan atau misi perguruan tinggi. Bila yang dikejar oleh perguruan tinggi adalah kebutuhan pasar dan mahasiswa sebanyak-banyaknya, maka misi suci perguruan tinggi bisa jadi terabaikan, yakni menghasilkan manusia terdidik. Muncul dikotomi antara dunia kerja atau profesionalisme yang spesifik dan kecakapan berbudaya secara umum. Bisa jadi program studi malah menjadi penjara bagi mahasiswa, yakni menjadikannya robot dengan keterampilan sempit tanpa kecakapan hidup. Tantangannya adalah bagaimana memadukan pengetahuan budaya dalam kurikulum program studi, kurikulum fakultas, atau kurikulum universitas secara proporsional. Hal ini nantinya akan membangun kemampuan bernalar dan kemampuan menimbang atau memberikan putusan benar-salah, indah-buruk, menguntungkan-merugikan dalam kehidupan sehari-hari.
 
Ketiga, konflik yang dihadapi dosen antara kewajiban mengajar dan kewajiban meneliti. Tugas utama dosen adalah mengajar mahasiswa dengan efektif dan melayani mahasiswa dengan baik. Di sisi lain, dosen juga harus meneliti dan mempublikasikan penelitiannya dalam jurnal ilmiah, buku teks, dan media masa. Menjadi permaslahan adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keduanya. Ada juga dosen yang mendapat jabatan struktural, dan mereka harus bisa menjadi manejer yang baik. Biasanya sulit bagi dosen untuk sukses sekaligus dalam tiga bidang ini. Karena tidak semua dosen memiliki kesempatan menjadi birokrat, maka sebaiknya penghargaan finansial dan non-finasial atas prestasi penelitian dan penulisan buku teks tidak lebih kecil daripada prestasi birokratis.
 
Keempat, sulit sekali menumbuhkan kreativitas di kalangan mahasiswa. Kultur akademik di SMA yaitu sikap pasif dan menunggu masih terbawa ke bangku kuliah. Mahasiswa nantinya akan serius mempelajari suatu topik kalau diberitahu bahwa topik itu akan jadi bahan ujian. Dalam perkuliahan sulit ditemukan adanya dialog cerdas dan interaktif. Idealnya perkuliahan terjadi dalam kelas-kelas kecil, sehingga setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk berpartisipasi secara cerdas. Di sanalah tradisi ditantang, kejumudan atau kebekuan dihalau, gagasan diuji, kepercayaan diperdebatkan secara ilmiah, dan kreativitas ditumbuhkan.
 
Kelima, perguruan tinggi diciptakan seperti menara gading bukannya seperti laboratorium kehidupan. Banyak orang tua masih melihat ke(pasca)sarjanaan sebagai symbol status social. Perguruan tinggi seakan mengisolasi diri, sehingga apa yang terjadi di ruang kuliah sedikit kaitannya dengan dunia di luar kampus. Bagaimana agar kegiatan di luar kampus mendukung visi dan misi perguruan tinggi. Bagaimana mengatasi ketegangan antara kebebasan mahasiswa di kampus dengan kewenangan lembaga. Dan juga bagaimana agar perguruan tinggi memberikan kesempatan munculnya kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di kampus. Intinya dalam era globalisasi seperti ini adalah bagaimana perguruan tinggi menyiapkan mahasiswa agar siap bertahan hidup dalam kompetisi global.
Keenam, perihal evaluasi hasil pendidikan. Prestasi akademik mahasiswa sangat tergantung pada dosen per mata kuliah. Nilai akhir atau IPK dalam rentang 1,00 sampai 4,00 adalah ukuran keterdidikan manusia. Bila pendidikan dimaknai sebagai upaya membentuk sarjana sebagai manusia seutuhnya, maka persoalannya adalah bagaimanakah kualitas kemanusiaan yang begitu kompleks disederhanakan dengan sebuah IPK. Sementara itu, tidak semua dosen adalah penilai yang baik. Tampaknya, dalam menentukan IPK perlu dikembangkan berbagai format penilaian yang tidak hanya mengukur potensi intelektual, tetapi juga potensi non-intelektual seperti yang diniati oleh perkuliahan pengetahuan budaya.

Selanjutnya, dalam kompetisi global ini, gagasan jaminan mutu atau quality assurance memang mutlak harus ada agar melalui uji mutu secara berkesinambung kepercayaan publik semakin tinggi. Dalam persaingan ini Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) ada di garis depan. LPMP menjadi niscaya bagi perguruan tinggi karena di sana ada dana publik yang ditarik dari masyarakat melalui SPP dan dialirkan melalui APBN. LPMP adalah bukti komitmen perguruan tinggi dalam menjaga amanat orang tua dan pemerintah. Melalui LPMP publik dapat menilai peringkat perguruan tinggi relatif terhadap perguruan tinggi lainnya. Mutu pendidikan dianggap baik bukanlah bila perkuliahan berjalan lancar, tidak ada gejolak di kalangan dosen, subsidi pemerintah jalan terus, dan pemimpin terpilih kembali. Semua ini bukanlah indikator mutu, tetapi sekedar indikator manajemen perguruan tinggi nasional yang belum tentu menjamin perbaikan kualitas pendidikan. Penjaminan mutu adalah kegiatan sistematis melalui monitoring, inspeksi, pengetesan, kaji ulang, pengecekan, penyesuaian, dan coba ulang.
 
Kebanyakan perguruan tinggi di negeri ini menganggap jaminan mutu itu sebagai mekanisme yang pengawasan mutu dilakukan oleh pimpinan dari rektor sampai ketua program studi atau jurusan. Dalam prakteknya mereka lebih berperan sebagai kelompok administrator eksekutif yang kurang memiliki kultur evaluative. Setahun sekali mereka dimonitoring tim inspektorat, namun monitoring ini lebih berfokus pada formalitas administratif bukan pada kualitas. Demikianlah kultur manajemen akademik bangsa kita ini, jadi wajarlah jika perguruan tinggi di negeri kita belumlah sejajar dengan perguruan tinggi papan atas Asia apalagi dunia.
 
Kualitas memang menjadi mantera ampuh dalam mengelolah perguruan tinggi menuju kelas dunia. Revitalisasi peran LPMP menjadi hal yang mutlak untuk kembali dibicarakan dan dilakukan. Antara lain dengan menggerakan LPMP untuk; (1) menentukan kualitas yang mesti dicapai dalam segala kegiatan, (2) menentukan prosedur kerja atau tertib kegiatan untuk mencapai kualitas itu, (3) melakukan uji standar mutu ke perguruan tinggi dalam dan luar negeri, dan (4) berperan sebagai mitra dalam memberikan saran perbaikan bagi pimpinan perguruan tinggi dari hulu sampai hilir.
LPMP berfokus pada kualitas, sedangkan monitoring aspek administrasi (efisiensi manajemen pembiayaan) kegiatan diserahkan kepada tim audit internal. LPMP lebih berorientasi pada perbaikan kualitas yang sinambung sedangkan tim audit internal lebih berfokus pada akuntabilitas publik, yakni upaya meyakinkan stakeholders bahwa perguruan tinggi memberikan layanan yang berkualitas.
Akhirnya, demi percepatan perbaikan, jajaran pimpinan dari rektor sampai pimpinan program studi dan segala unit yang ada mesti menempatkan ‘kualitas’ sebagai strategi institusional. Semua personel di kampus kita ini dicuci otak sehingga bibir dan hatinya bukan saja berbisik ‘kerja’ ‘kerja’ ‘kerja’ tetapi juga ‘kualitas’ ‘kualitas’ dan ‘kualitas’. 


*beberapa ide dalam tulisan ini disadur dari buku 'pokoknya BHMN' A. Chaedar Alwasilah