Minggu, 19 November 2017

20.55 - 2 comments

Kalendere dan Batiang; Aktifitas Masyarakat Sangihe dan Penanggalannya

Dalam kosa kata bahasa Sangir terdapat kata 'kalendere'. Kalendere atau almanake ini sering muncul dalam percakapan masyarakat Sangihe. Masyarakat umum ketika mendengar dua kata ini dalam pembicaraan masyarakat Sangihe pasti langsung paham. Kalendere dan almanake adalah dua contoh kata serapan bahasa Sangir dari bahasa Indonesia. Masyarakat Sangihe saat menyerap kosa kata dari bahasa Indonesia cenderung hanya menambahkan vokal E di akhir kata yang huruf akirnya konsonan. Seperti contoh di atas; kalender jadi kalendere, almanak jadi almanake. Jika huruf akhir kata itu adalah bunyi sengau atau nasal seperti N, cukup menambahkan G di belakangnya, jadilah 'telepong' dari kata 'telepon'. Tertarik belajar bahasa Sangir? Jika yah, maaf, kali ini saya tidak mengulas tentang pembentukan kata serapan dalam bahasa Sangir. Mungkin lain kesempatan. Kali ini kita bahas tentang kalendere alias almanake dan Batiang, penanggalan masyarakat Sangihe dahulu.


Bisa dipastikan, pengenalan tentang kalender ini pada masyarakat Sangihe dahulu adalah buah pekerjaan dari misionaris dalam penyebaran agama Kristen di wilayah Sangihe. Pengenalan ini sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat Sangihe kala itu, bahkan hingga saat ini. Dahulu masyarakat Sangihe masih menggunakan penanggalan secara tradisional.Penanggalan itu disebut BATIANG.

Kalender yang dikenalkan misionaris ini adalah kalender atau almanak Gregorian.  Kalender Gregorian adalah kalender masehi yang ditetapkan Paus Gregorius XIII pada tahun 1582. Merupakan koreksi atas kalender Julian yang berlaku sejak 47SM.  Demikian penjelasan kalender Gregorian yang disadur dari Wikipedia. Dua belas nama bulan pada kalender Gregorian yaitu; Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember.

Kalender Solar atau kalender Surya adalah sistem penaggalan yang berdasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari. Kalender Solar ini di Sangihe dikenal dalam pembagian hari dalam seminggu, yakni; Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Dalam bahasa Sangir (perhitungan dimulai dari Senin – Minggu) dikenal: Mandake, Salasa, Areba, Hamise, Sambaiang, Kaehe, Misa.

MASYARAKAT SANGIHE
Sebagai masyarakat yang keseharianya hidup dengan hasil laut dan bertani, masyarakat Sangihe sejak dahulu telah mempelajari keadaan alam. Hal ini demi mendukung aktivitas mereka, baik di darat maupun di laut. Keadaan alam atau fenomena alam ini telah mereka tandai, sehingga membentuk suatu penanda yang menjadi patokan bagi mereka saat beraktifitas. B
enda-benda langit merupakan patokan paling umum yang diamati oleh masyarakat dahulu suku Sangihe.
Memperhatikan benda-benda langit seperti bintang, bulan, dan matahari menjadi dasar mereka dalam menentukan Batiang. Batiang adalah sistem penanggalan masyarakat Sangihe dahulu. Batiang adalah buah pengetahuan nenek moyang suku Sangihe tentang peredaran benda-benda langit.
Sistem penanggalan Batiang sama dengan penaggalan sistem lunar. Sistem penanggalan Batiang merupakan sistem penanggalan yang didasarkan atas fase perhitungan bulan. Setiap hari dalam penanggalan batiang menandakan satu lokasi bulan dalam berevolusi terhadap bumi. Sistem penanggalan Batiang murni mendasarkan perhitungannya pada fase bulan. Kalender yang murni mendasarkan perhitungan pada fase bulan juga ada
lah kalender Hijriyah dan kalender Jawa Islam.
Kesamaan sistem Batiang dan kalender lunar terletak pada perhitungan harinya, yakni 15 hari lalu dikali dua dalam sebulan. Dua belas bulan dalam setahun, penamaannya memperhatikan posisi bintang. Di Sangihe wilayah Siau, perhitungan Batiang dalam sebulan tepat 15 sebutan, lalu dihitung lagi dengan perbedaan purnama gelap dan purnama terang. Purnama merupakan bulan ke 15. Urutannya yakni:
1. Sai
2. Ehe
3. Tulrude
4. Penetakeng Lese
5. Panginsueng lese
6. Harese
7. Au
8. Anga
9. Letu
10. Naurio
11. Naurakele
12. Pangumpia
13. Pause
14. Limangu
15. Teping
Hal ini berbeda dengan di wilayah Sangihe (banua lawo), penamaanya genap hingga 30 fase bulan dalam sebulan. Informasi dari Rendy Sasela, penamaannya yakni:
1. Kahumata Pakesa
2. Kahumata Karuane
3. Kahumata Katelune
4. Sehang U Harese
5. Batangeng u Harese
6. Likudu Harese
7. Sehang u Letu
8. Batangeng u Letu
9. Likudu Letu
10. Awing
11. Sahang u pangumpia
12. Batangeng u pangumpia
13. Umpause
14. Limangung bulrang
15. Teping (purnama)
16. Sai Pakesa
17. Sai karuane
18. Sai katelune
19. Sehang u Harese
20. Batangeng u Harese
21. Likudu Harese
22. Sehang u Letu
23. Batangeng u Letu
24. Likudu u Letu
25. Awang
26. Sehangu Pangumpia
27. Batangeng u Pangumpia
28. Umpause
29. Limangu Basa
30. Tekalre
Tentang nama bulan (waktu) dalam setahun, masyarkat Sangihe juga telah menamainya sesuai pengamatan posisi bintang. Informasi dari Rendy Saselah, ada dua versi penamaan tersebut. Versi pertama:
1. Hiabe (Januari),
2. Kateluang (Februari),
3. Kaemba (Maret),
4. Pahuru (April),
5. Hampuge (Mei),
6. Hente (Juni),
7. Bulawa Kadodo(Juli),
8. Bulawa Geguwa (Agustus),
9. Bowone (September),
10. Liwuge (Oktober),
11. Lurange (November), dan
12. Lurangu Tambaru (Desember).

Versi kedua:
1. Hiabe (Desember-Januari),
2. Kateluang (Januari-Februari),
3. Pahuru (Februari-Maret),
4. Kaemba (Maret-April),
5. Hampuge (April-Mei),
6. Hente (Mei-Juni),
7. Ake Mawira Kadio (Juni-Juli),
8. Ake Mawira Geguwa (Juli-Agustus),
9. Liwuge (Agustus-September),
10. Bewene (September-Oktober),
11. Lurange (Oktober-November), dan
12. Tambaru (Desember-Januari)

Perubahan bulan di langit dan bulan (waktu) telah ditandai dan dipercaya masyarakat Sangihe memiliki hubungan dengan musim dan pengaruh terhadap melaut dan bercocok tanam. Di Siau, masyarakat percaya bahwa saat paling tepat menebang pohon atau bambu untuk keperluan perabot dan bahan bangunan adalah pada saat bulan (bulrang) Harese. Meski demikian, di saat itu mereka juga memperhatikan pasang surut air laut. Lebih tepat saat menebang pohon dan bambu dengan maksud di atas adalah saat bulrang harese dan air laut saat surut. Mereka percaya kayu akan lebih tahan lama. Secara umum bulan yang baik untuk melakukan aktivitas untuk bercocok tanam juga aktivitas pekebunan lainnya adalah pada saat bulrang pangumpia. Pada bulrang pangumpia ini juga masyarakat Siau percaya adalah waktu yang tepat untuk ‘menumandihe balre’ (meletakan empat batu di empat sudut rumah pada saat membangun rumah).
Pada waktu bulrang harese, cuaca cenderung berubah. Angin biasanya bertiup dan akan turun hujan. Karena cuaca tidak menentu, masyarakat Siau percaya bahwa tidak baik kalau mengadakan hajatan pada saat bulrang harese. Bulrang ehe dipercaya masyarakat bahwa ular akan cenderung keluar dari tempatnya. Masyarakat setempat harus berhati-hati dalam beraktivitas, terlebih di kebun atau di pantai.
Saat melaut, masyarakat percaya ketika bulan terbenam pasti ada perubahan angin dan arus di laut. Saat nelayan mencari ikan, mereka memperhatikan bulan terang dan bulan mati (gelap). Penangkapan cenderung menurun di saat bulan terang. Aktivitas nelayan akan meningkat saat bulan mati. Di saat bulan mati itu aktivitas menolro (melaut dengan memasang obor) banyak dilakukan oleh nelayan.  Nelayan Siau paham benar bahwa saat bulan terbenam pasti ikan akan cenderung muncul dan aktivitas menangkap ikan akan meningkat. Masyarakat Siau bagian Utara, jika menangkap ikan ke Sanggaluhang selalu menentukan waktu saat bulrang harese berlalu. Cenderung mereka berlayar ke Sanggalruhang pada bulrang Letu. Pada bulrang letu ini penangkapan berkurang, pada saat itulah mereka pergunakan untuk berlayar atau mendayung ke Sanggaluhang. Nelayan Siau tahu jika bulan terbit maka air laut akan surut dan saat bulan terbenam air laut akan pasang. Pada saat seperti ini mereka telah tahu bagaimana peralihan arus laut.

Perubahan pasang surut air laut juga mempengaruhi aktivitas di laut. Hal ini karena perubahan arus di wilayah dangkal dan selat kecil akan terlihat jelas pada saat perpindahan air dari pasang jadi surut, juga sebaliknya. Dalam aktivitas lain juga, masyarakat Siau terlebih di pulau Toade sangat memperhatikan pasang surut air laut ini. Mereka selalu menentukan aktivitas transportasi laut dengan bergantung pada jadwal pasang surut air laut. Mereka cenderung menghindar tiba di tempat (toade) saat air laut surut. hal ini akan menghambat mereka untuk merapatkan perahu hingga ke bibir pantai. Air laut surut paling besar itu terjadi pada bulrang Limangu. Pada bulrang letu air laut itu pada posisi tetap (tidak pasang juga tidak surut). Masyarakat Siau menamainya ‘sasi huabe’.
Secara periodik, masyarakat Sanghe wilayah Siau menandai bulan (waktu) dengan fenomena alam dalam rentang waktu itu. Hal ini demi kemudahan mereka ketika berlayar jauh atau menyiapkan hajatan besar. Masyarakat Siau menandai anging Sawenahe (angin utara) akan bertiup pada bulrangu Bewene, Lurange, Tambaru, Hiabe. Jika bergeser (nitondone; istilah lokal), maka akan sampai pada bulrangu Kateluang. Pada periode ini, hujan turun dengan intensitas tinggi. Pada bulan Lurangu Tambaru (versi 1), masyarakat Siau percaya dan cenderung mengindari kemunculan anging Laesuiki (Timur Laut). Angin ini bertiup sangat kencang, ombak memporak-porandakan pantai yang wilayahnya berhadapan dengan arah Laesuiki. Karena angin ini hanya bertiup kisaran tiga hari, maka masyarakat setempat menjulukinya ‘anging telu hebi’ artinya: angina tiga malam. Anging telu hebi ini selalu muncul pertama pada bulrang Penetakeng Lese hingga bulrang Harese. Pada bulrang Harese ini puncak anging Laesuiki ini bertiup.
Anging Timuhe (angin Selatan) cenderung bertiup pada bulrang Ake Mawira lrabo (geguwa), Liwuge, Bewene, Lurange. Pada periode ini, akan datang musim kemarau. Pada penghujung musim angin Selatan, biasanya pada awal bulrang Liwuge atau akhir bulrang bowone (versi 1), akan ditandai dengan datangnya manu (burung) tegi, lalu beberapa saat kemudian kawanan burung tegi ini akan hilang. Masyarakat Siau menamakan periode singkat ini dengan ‘kawusange’.
Anging Bahe (angin Barat) bertiup tidak menentu. Namun masyarakat sudah menandainya dengan cermat. Anging Bahe muncul pada Ake Mawira Kadio dalam rentang waktu seminggu (umumnya 3-4 hari) dan juga muncul kisaran bulrang Ake Mawira Lrabo dan Liwuge. Muncul sesaat di tengah musim anging Timuhe bertiup. Angin Barat di bulan Hente (versi 1) sangat berbahaya. Hal ini dikarenakan pada bulan Hente ini alam sangatlah tenang, dan anging Bahe ini muncul secara tiba-tiba. Karena angin barat pada bulan Juni inilah di masyarakat Siau muncul ungkapan ‘arie pengumbala runia malrenehe’. Artinya: jangan lalai karena dunia tenang’. pada saat ini akan cenderung hujan ringan.
Pada bulrang liwuge (versi 1) angin bertiup tak menentu (bala u anging), sawenahe, laesuiki, bahe, dan mahaing semua memiliki kemungkinan bertiup di bulan Liwuge. Anging Daki (angin Timur) berhembus pada Pahuru, Kemba, Hampuge, Hente.  Cuaca sejuk dan laut cenderung tenang pada periode ini. Laut sangat tenang terlihat di bulrang Hampuge (versi 1; mei), namun arus laut sangat kuat. Masyarakat takjub dengan kuatnya arus pada bulan ini sehingga muncul ungkapan ‘selihu mei’, yang artinya ‘arus Mei’.
Masyarakat Siau juga ada yang percaya terhadap hubungan bulan lahir dan kepribadian seseorang. Ada yang percaya bahwa yang lahir pada bulrang Hampuge (Mei; versi 1) umumnya berwatak pemarah. Mereka yang lahir pada bulrang Bowone – Lurangu Tambaru (September – Desember; versi 1) biasanya peramah. Kepercayaan mirip horoskop ini tidak banyak informasi yang ditemukan. Entah mereka kurang mendalami atau sudah hilang dari kehidupan masyarakat Siau.

Masih ada tanda alam lain yang dipercaya masyarakt Siau ketika menghubungkan aktivitas mereka dengan patokan benda-benda langit. Contoh di atas merupakan sebagian kecil dari hubungan aktivitas masyarakat Sangihe Siau dengan benda-benda langit. Karena sudah menyinggung tentang nama mata angin dalam bahasa lokal, di akhir catatan ini saya akan tambahkan daftar itu. Namun sebelumnya, terima kasih kepada semua yang menginspirasi terlebih buat papa Machlon Bintang Horonis.

Daftar mata angin dalam bahasa Sangir juga dalam bahasa Sasahara di wilayah Siau:
1. Sawenahe                    = Mamenongkati                                        = Utara
2. Laesuiki Sawenahe     = Maempukang Mamenongkati               = Utara Timur Laut
3. Laesuiki                      = Maempukang                                        = Timur Laut
4. Laesuiki daki              = Maempukang Malelo                           = Timur Timur Laut
5. Daki                            = Malelo                                                   = Timur
6. Mahaing Daki             = Maembekang Malelo                            = Timur Menenggara
7. Mahaing                      = Maembekang/Mansohowang                 = Tenggara
8. Mahaing Timuhe         = Maembekang Matawolra               = Selatan Menenggara
9. Timuhe                        = Matawolra/Malegeeng/Bulrawa           = Selatan
10. Tahangeng Timuhe = Mahanggosang Matawolra/Amboha= Selatan Barat Daya
11. Tahangeng                 = Mahanggosang/Gumahagha                    = Barat Daya
12. Tahangeng Bahe       = Mahanggosang Palangepa                   = Barat Barat Daya
13. Bahe                          = Palangepa/Mohongmalroang/Dadakele  = Barat
14. Polrong Bahe             = Maponggaeng Palangepa                        = Barat Barat Laut
15. Polrong                      = Maponggaeng                                         = Barat Laut
16. Polrong Sawenahe    = Maponggaeng Mamenongkati            = Utara Barat Laut.