20.55 -
2 comments


Kalendere dan Batiang; Aktifitas Masyarakat Sangihe dan Penanggalannya
Dalam kosa kata bahasa Sangir terdapat kata 'kalendere'.
Kalendere atau almanake ini sering muncul dalam percakapan masyarakat Sangihe.
Masyarakat umum ketika mendengar dua kata ini dalam pembicaraan masyarakat
Sangihe pasti langsung paham. Kalendere dan almanake adalah dua contoh kata
serapan bahasa Sangir dari bahasa Indonesia. Masyarakat Sangihe saat menyerap
kosa kata dari bahasa Indonesia cenderung hanya menambahkan vokal E di akhir
kata yang huruf akirnya konsonan. Seperti contoh di atas; kalender jadi
kalendere, almanak jadi almanake. Jika huruf akhir kata itu adalah bunyi sengau
atau nasal seperti N, cukup menambahkan G di belakangnya, jadilah 'telepong'
dari kata 'telepon'. Tertarik belajar bahasa Sangir? Jika yah, maaf, kali ini
saya tidak mengulas tentang pembentukan kata serapan dalam bahasa Sangir.
Mungkin lain kesempatan. Kali ini kita bahas tentang kalendere alias almanake
dan Batiang, penanggalan masyarakat Sangihe dahulu.
Bisa dipastikan, pengenalan tentang kalender ini pada
masyarakat Sangihe dahulu adalah buah pekerjaan dari misionaris dalam
penyebaran agama Kristen di wilayah Sangihe. Pengenalan ini sangat mempengaruhi
aktivitas masyarakat Sangihe kala itu, bahkan hingga saat ini. Dahulu
masyarakat Sangihe masih menggunakan penanggalan secara tradisional.Penanggalan
itu disebut BATIANG.
Kalender yang dikenalkan misionaris ini adalah kalender atau
almanak Gregorian. Kalender Gregorian
adalah kalender masehi yang ditetapkan Paus Gregorius XIII pada tahun 1582.
Merupakan koreksi atas kalender Julian yang berlaku sejak 47SM. Demikian penjelasan kalender Gregorian yang
disadur dari Wikipedia. Dua belas nama bulan pada kalender Gregorian yaitu;
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober,
November, Desember.
Kalender Solar atau kalender Surya adalah sistem penaggalan
yang berdasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari. Kalender Solar ini
di Sangihe dikenal dalam pembagian hari dalam seminggu, yakni; Ahad, Senin,
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Dalam bahasa Sangir (perhitungan dimulai
dari Senin – Minggu) dikenal: Mandake, Salasa, Areba, Hamise, Sambaiang, Kaehe,
Misa.
MASYARAKAT SANGIHE
Sebagai masyarakat yang keseharianya hidup dengan hasil laut
dan bertani, masyarakat Sangihe sejak dahulu telah mempelajari keadaan alam.
Hal ini demi mendukung aktivitas mereka, baik di darat maupun di laut. Keadaan
alam atau fenomena alam ini telah mereka tandai, sehingga membentuk suatu
penanda yang menjadi patokan bagi mereka saat beraktifitas. B
enda-benda langit
merupakan patokan paling umum yang diamati oleh masyarakat dahulu suku Sangihe.
Memperhatikan benda-benda langit seperti bintang, bulan, dan
matahari menjadi dasar mereka dalam menentukan Batiang. Batiang adalah sistem
penanggalan masyarakat Sangihe dahulu. Batiang adalah buah pengetahuan nenek
moyang suku Sangihe tentang peredaran benda-benda langit.

Kesamaan sistem Batiang dan kalender lunar terletak pada
perhitungan harinya, yakni 15 hari lalu dikali dua dalam sebulan. Dua belas
bulan dalam setahun, penamaannya memperhatikan posisi bintang. Di Sangihe
wilayah Siau, perhitungan Batiang dalam sebulan tepat 15 sebutan, lalu dihitung
lagi dengan perbedaan purnama gelap dan purnama terang. Purnama merupakan bulan
ke 15. Urutannya yakni:
1. Sai
2. Ehe
3. Tulrude
4. Penetakeng Lese
5. Panginsueng lese
6. Harese
7. Au
8. Anga
9. Letu
10. Naurio
11. Naurakele
12. Pangumpia
13. Pause
14. Limangu
15. Teping
Hal ini berbeda dengan di wilayah Sangihe (banua lawo),
penamaanya genap hingga 30 fase bulan dalam sebulan. Informasi dari Rendy
Sasela, penamaannya yakni:
1. Kahumata Pakesa
2. Kahumata Karuane
3. Kahumata Katelune
4. Sehang U Harese
5. Batangeng u Harese
6. Likudu Harese
7. Sehang u Letu
8. Batangeng u Letu
9. Likudu Letu
10. Awing
11. Sahang u pangumpia
12. Batangeng u pangumpia
13. Umpause
14. Limangung bulrang
15. Teping (purnama)
16. Sai Pakesa
17. Sai karuane
18. Sai katelune
19. Sehang u Harese
20. Batangeng u Harese
21. Likudu Harese
22. Sehang u Letu
23. Batangeng u Letu
24. Likudu u Letu
25. Awang
26. Sehangu Pangumpia
27. Batangeng u Pangumpia
28. Umpause
29. Limangu Basa
30. Tekalre
Tentang nama bulan (waktu) dalam setahun, masyarkat Sangihe
juga telah menamainya sesuai pengamatan posisi bintang. Informasi dari Rendy
Saselah, ada dua versi penamaan tersebut. Versi pertama:
1. Hiabe (Januari),
2. Kateluang (Februari),
3. Kaemba (Maret),
4. Pahuru (April),
5. Hampuge (Mei),
6. Hente (Juni),
7. Bulawa Kadodo(Juli),
8. Bulawa Geguwa (Agustus),
9. Bowone (September),
10. Liwuge (Oktober),
11. Lurange (November), dan
12. Lurangu Tambaru (Desember).
Versi kedua:
1. Hiabe (Desember-Januari),
2. Kateluang (Januari-Februari),
3. Pahuru (Februari-Maret),
4. Kaemba (Maret-April),
5. Hampuge (April-Mei),
6. Hente (Mei-Juni),
7. Ake Mawira Kadio (Juni-Juli),
8. Ake Mawira Geguwa (Juli-Agustus),
9. Liwuge (Agustus-September),
10. Bewene (September-Oktober),
11. Lurange (Oktober-November), dan
12. Tambaru (Desember-Januari)
Perubahan bulan di langit dan bulan (waktu) telah ditandai
dan dipercaya masyarakat Sangihe memiliki hubungan dengan musim dan pengaruh
terhadap melaut dan bercocok tanam. Di Siau, masyarakat percaya bahwa saat
paling tepat menebang pohon atau bambu untuk keperluan perabot dan bahan
bangunan adalah pada saat bulan (bulrang) Harese. Meski demikian, di saat itu
mereka juga memperhatikan pasang surut air laut. Lebih tepat saat menebang
pohon dan bambu dengan maksud di atas adalah saat bulrang harese dan air laut
saat surut. Mereka percaya kayu akan lebih tahan lama. Secara umum bulan yang
baik untuk melakukan aktivitas untuk bercocok tanam juga aktivitas pekebunan
lainnya adalah pada saat bulrang pangumpia. Pada bulrang pangumpia ini juga masyarakat Siau percaya adalah waktu
yang tepat untuk ‘menumandihe balre’ (meletakan empat batu di empat sudut rumah
pada saat membangun rumah).
Pada waktu bulrang harese, cuaca cenderung berubah. Angin
biasanya bertiup dan akan turun hujan. Karena cuaca tidak menentu, masyarakat
Siau percaya bahwa tidak baik kalau mengadakan hajatan pada saat bulrang
harese. Bulrang ehe dipercaya masyarakat bahwa ular akan cenderung keluar dari
tempatnya. Masyarakat setempat harus berhati-hati dalam beraktivitas, terlebih
di kebun atau di pantai.
Saat melaut, masyarakat percaya ketika bulan terbenam pasti
ada perubahan angin dan arus di laut. Saat nelayan mencari ikan, mereka
memperhatikan bulan terang dan bulan mati (gelap). Penangkapan cenderung
menurun di saat bulan terang. Aktivitas nelayan akan meningkat saat bulan mati.
Di saat bulan mati itu aktivitas menolro (melaut dengan memasang obor) banyak
dilakukan oleh nelayan. Nelayan Siau paham benar bahwa saat bulan
terbenam pasti ikan akan cenderung muncul dan aktivitas menangkap ikan akan
meningkat. Masyarakat Siau bagian Utara, jika menangkap ikan ke Sanggaluhang
selalu menentukan waktu saat bulrang harese berlalu. Cenderung mereka berlayar ke
Sanggalruhang pada bulrang Letu. Pada bulrang letu ini penangkapan berkurang,
pada saat itulah mereka pergunakan untuk berlayar atau mendayung ke
Sanggaluhang. Nelayan Siau tahu jika bulan terbit maka air laut akan surut dan
saat bulan terbenam air laut akan pasang. Pada saat seperti ini mereka telah
tahu bagaimana peralihan arus laut.
Perubahan pasang surut air laut juga mempengaruhi aktivitas
di laut. Hal ini karena perubahan arus di wilayah dangkal dan selat kecil akan
terlihat jelas pada saat perpindahan air dari pasang jadi surut, juga
sebaliknya. Dalam aktivitas lain juga, masyarakat Siau terlebih di pulau Toade
sangat memperhatikan pasang surut air laut ini. Mereka selalu menentukan
aktivitas transportasi laut dengan bergantung pada jadwal pasang surut air
laut. Mereka cenderung menghindar tiba di tempat (toade) saat air laut surut.
hal ini akan menghambat mereka untuk merapatkan perahu hingga ke bibir pantai. Air laut surut paling besar itu
terjadi pada bulrang Limangu. Pada bulrang letu air laut itu pada posisi tetap
(tidak pasang juga tidak surut). Masyarakat Siau menamainya ‘sasi huabe’.
Secara periodik, masyarakat Sanghe wilayah Siau menandai
bulan (waktu) dengan fenomena alam dalam rentang waktu itu. Hal ini demi
kemudahan mereka ketika berlayar jauh atau menyiapkan hajatan besar. Masyarakat
Siau menandai anging Sawenahe (angin utara) akan bertiup pada bulrangu Bewene,
Lurange, Tambaru, Hiabe. Jika bergeser (nitondone; istilah lokal), maka akan
sampai pada bulrangu Kateluang. Pada periode ini, hujan turun dengan intensitas
tinggi. Pada bulan Lurangu
Tambaru (versi 1), masyarakat Siau percaya dan cenderung mengindari kemunculan
anging Laesuiki (Timur Laut). Angin ini bertiup sangat kencang, ombak
memporak-porandakan pantai yang wilayahnya berhadapan dengan arah Laesuiki.
Karena angin ini hanya bertiup kisaran tiga hari, maka masyarakat setempat
menjulukinya ‘anging telu hebi’ artinya: angina tiga malam. Anging telu hebi
ini selalu muncul pertama pada bulrang Penetakeng Lese hingga bulrang Harese. Pada
bulrang Harese ini puncak anging Laesuiki ini bertiup.
Anging Timuhe (angin Selatan) cenderung bertiup pada bulrang
Ake Mawira lrabo (geguwa), Liwuge, Bewene, Lurange. Pada periode ini, akan
datang musim kemarau. Pada
penghujung musim angin Selatan, biasanya pada awal bulrang Liwuge atau akhir
bulrang bowone (versi 1), akan ditandai dengan datangnya manu (burung) tegi,
lalu beberapa saat kemudian kawanan burung tegi ini akan hilang. Masyarakat
Siau menamakan periode singkat ini dengan ‘kawusange’.
Anging Bahe (angin Barat) bertiup tidak menentu. Namun
masyarakat sudah menandainya dengan cermat. Anging Bahe muncul pada Ake Mawira
Kadio dalam rentang waktu seminggu (umumnya 3-4 hari) dan juga muncul kisaran
bulrang Ake Mawira Lrabo dan Liwuge. Muncul sesaat di tengah musim anging
Timuhe bertiup. Angin Barat di
bulan Hente (versi 1) sangat berbahaya. Hal ini dikarenakan pada bulan Hente
ini alam sangatlah tenang, dan anging Bahe ini muncul secara tiba-tiba. Karena
angin barat pada bulan Juni inilah di masyarakat Siau muncul ungkapan ‘arie
pengumbala runia malrenehe’. Artinya: jangan lalai karena dunia tenang’. pada
saat ini akan cenderung hujan ringan.
Pada bulrang liwuge (versi 1) angin bertiup tak menentu (bala u anging), sawenahe,
laesuiki, bahe, dan mahaing semua memiliki kemungkinan bertiup di bulan Liwuge.
Anging Daki (angin Timur) berhembus pada Pahuru, Kemba, Hampuge, Hente. Cuaca sejuk dan laut cenderung tenang pada
periode ini. Laut sangat
tenang terlihat di bulrang Hampuge (versi 1; mei), namun arus laut sangat kuat.
Masyarakat takjub dengan kuatnya arus pada bulan ini sehingga muncul ungkapan
‘selihu mei’, yang artinya ‘arus Mei’.
Masyarakat
Siau juga ada yang percaya terhadap hubungan bulan lahir dan kepribadian
seseorang. Ada yang percaya bahwa yang lahir pada bulrang Hampuge (Mei; versi
1) umumnya berwatak pemarah. Mereka yang lahir pada bulrang Bowone – Lurangu
Tambaru (September – Desember; versi 1) biasanya peramah. Kepercayaan mirip
horoskop ini tidak banyak informasi yang ditemukan. Entah mereka kurang
mendalami atau sudah hilang dari kehidupan masyarakat Siau.
Masih ada tanda alam lain yang dipercaya masyarakt Siau
ketika menghubungkan aktivitas mereka dengan patokan benda-benda langit. Contoh
di atas merupakan sebagian kecil dari hubungan aktivitas masyarakat Sangihe
Siau dengan benda-benda langit. Karena sudah menyinggung tentang nama mata
angin dalam bahasa lokal, di akhir catatan ini saya akan tambahkan daftar itu.
Namun sebelumnya, terima kasih kepada semua yang menginspirasi terlebih buat papa Machlon Bintang Horonis.
Daftar mata angin dalam bahasa Sangir juga dalam bahasa Sasahara di wilayah
Siau:
1. Sawenahe = Mamenongkati
= Utara
2. Laesuiki Sawenahe = Maempukang Mamenongkati
=
Utara Timur Laut
3. Laesuiki = Maempukang =
Timur Laut
4. Laesuiki daki = Maempukang
Malelo = Timur Timur Laut
5. Daki = Malelo =
Timur
6. Mahaing Daki = Maembekang Malelo = Timur Menenggara
7. Mahaing = Maembekang/Mansohowang = Tenggara
8. Mahaing Timuhe = Maembekang Matawolra = Selatan Menenggara
9. Timuhe =
Matawolra/Malegeeng/Bulrawa =
Selatan
10. Tahangeng Timuhe = Mahanggosang Matawolra/Amboha= Selatan Barat Daya
11. Tahangeng =
Mahanggosang/Gumahagha =
Barat Daya
12. Tahangeng Bahe = Mahanggosang Palangepa =
Barat Barat Daya
13. Bahe =
Palangepa/Mohongmalroang/Dadakele = Barat
14. Polrong Bahe = Maponggaeng
Palangepa = Barat Barat Laut
15. Polrong = Maponggaeng =
Barat Laut
16. Polrong Sawenahe = Maponggaeng Mamenongkati =
Utara Barat Laut.