Senin, 02 Mei 2011

20.42 - No comments

Refleksi ulang tahun ke 3 AKM SITARO (3 mei 2011) dan nasib pendidikan di INDONESIA (2 Mei 2011)

Tiga tahun memang kedengaranya masih terlalu dini untuk AKM berbicara banyak mengenai kehidupan bangsa dan Negara. Ibarat bayi AKM SITARO masih dalam tahap belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, berjalan dengan linca, belajar berbicara dengn jelas dan teratur. Mahasiswa Sitaro yang tergabung dalam organisasi ini menampik semua prasangka ini, mereka membuktikan bahwa mereka bukanlah mahasiswa yang kelihatanya sekedar mahasiswa biasa yang hanya datang kuliah terus balik ke kos masing-masing tanpa memiliki kepekaan atau memikirkan keadaan sosial bangsa dan Negara. Mereka belajar memahami realita kehidupan di tanah yang mereka cintai dan belajar untuk menjadi aset masa depan Bangsa yang tak ternilai harganya, mereka adalah calon pemimpin masa depan bangsa dengan ribuan konsep terbaik yang telah mereka siapkan untuk membangun negeri yang mereka cintai agar lebih baik dari hari ini.
Melihat track record AKM SITARO, organisasi ini sudah matang dalam beroganisasi. Sikap kepedulianya terhadap masyarakat tidak bisa di pugkiri lagi. Pemikiran kritis mereka dalam menanggapi kesenjangan sosial dan kekeliruan dalam kepemimpinan mulai dari pusat hingga pelosok pedesaan. Membaca arus gerak strategi geo-politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan keamanan dll secara global menjadi hal yang mendasar bagi mereka sehingga bisa berbicara banyak mengena bangsa dan Negara ini.
AKM Sitaro ini pada awalnya direncanakan akan di deklarasikan pada 2 Mei agar bersamaan dengan hari pendidikan nasional dan jika memperingatinya pasti akan lebih heboh dan meriah. Tapi bagaiman kalau seandainya deklarasi AKM itu memang terlaksana sesuai rencana awal (tnggal 2 Mei)? Bagaimana perayaannya?
AKM SITARO mengalami peningkatan yang luar biasa karena saat ini sedang mempersiapkan Musyawarah Cabang Manado. Hal ini mengindikasikan bahwa AKM SITARO telah menyebar ke seluruh penjuru negeri mulai dari hanya konsep pemikirannya hingga secara organisatorisnya. Kedewasaan mahasiswa Sitaro dalam menanggapi permasalahan pun sudah tidak diragukan lagi. Hal ini bertolak belakang dengan keadaan pendidikan di Indonesia.
Mari kita lihat keadaan pendidikan saat ini.
2 Mei 2011 bertepatan dengan diperingatinya Hari Pendidikan Nasional. Hampir di setiap sekolah dan universitas diadakan upacara upacara bendera untuk memperingati hari penting ini. Tapi sayangnya peringatan ini tidak mencerminkan pendidikan di Indonesia yang kian maju dan berkualitas, namun justru cenderung berjalan di tempat bahkan mengalami kemerosotan.
Ironi memang, apabila kita mengingat bangsa Indonesia yang setelah 66 tahun merdeka namun belum mampu menghadirkan pendidikan yang berkualitas. Hal ini terlihat dari moral generasi mudanya yang semakin hari semakin mengalami kemerosotan. Peran lembaga pendidikan membentuk generasi yang bermoral dan memiliki paradigma ke depan sangatlah kurang. Angka putus sekolah dan pengangguran setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diamanatkan dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan, dimana pendidikan diharapkan tidak hanya mengedepankan proses transfer ilmu saja tetapi juga dengan pembentukan moral para generasi penerus bangsa ini.
Raden Mas Soewardi Suryaningrat, atau yang biasa kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara, lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia merupakan Bapak Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia dan seorang pendiri Nationaal Onderwijs Intituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa). Karena buah pemikirannya, bangsa ini memiliki warisan pemikiran dasar pendidikan untuk memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status sosial, dan sebagainya. Tidak salah, jika tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara ini kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Namun berbagai masalah masih menghantui dunia pendidikan kita di Hardiknas kali ini, mulai dari lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu-individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Kontroversi pemberlakuan ujian nasional yang tiada henti, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Sampai sinetron sinetron televisi Indonesia yang dengan baik mendidik para siswa SMA sampai SD tentang hasrat cinta lawan jenis dan menjadikan pelajaran sekolah menjadi pekerjaaan sampingan, selain itulah lahirlah komunitas kosmopolitan dan hedonis macam dance street clubs, dugem club, anak nongkrong, yang padat oleh aktivitas seni namun jauh dari usaha memperbaiki bangsa. Komunitas yang lahir dengan parameter moralnya sendiri. Generasi yang kebudayaannya dijajah kebudayaan bangsa lain. Generasi yang tercerabut dari akar budayanya. Memposisikan agama dan moral sebagai sesuatu yang teralienasi. Pertarungan kebudayaan yang bukan kitalah pemenangnya. Pendidikan kita pun ternyata bukan lagi menjadi tameng pelindung. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan yang sejatinya diyakini sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 66 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu.
Desakan supaya bangsa ini kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara dalam tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat, paradigma yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita, menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan dan telah di copy paste oleh Malaysia dan Singapura. Namun realitanya, pendidikan kita dirasakan belum keluar dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.
Lalu bagaimana nasib pendidikan bangsa Indonesia ke depan apabila keadaan masih seperti ini? Jangan hanya berpangku tangan, saatnya untuk kita generasi muda yang mengubah keadaan ini. Teriakkan perlawanan terhadap kebodohan, untuk masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik.

AKM SITARO, melalui divisi-divisi yang ada, didiklah generasi masa depan bangsa ini agar SITARO, Sulawesi Utara, Indonesia tidak dipandang remeh oleh Negara lain, agar bangsa dan Negara ini memiliki jatihdiri yang jelas, agar bangsa ini sedikitnya bermartabat dan punya harga diri di mata internasional…..

0 komentar:

Posting Komentar