Sabtu, 17 Oktober 2015

17.18 - No comments

TRADISI UNTUK ANAK BAYI DI SANGIHE SIAU

MULUANG GAHI
muluang gahi adalah salah satu kearifan lokal yang masih hidup di Siau, kampung Laghaeng dan beberapa kampung lainnya masih menjaga dengan baik kearifan ini hingga saat ini.
Muluang gahi dilakukan oleh orang tua kepada anaknya jika keturunan atau anak mereka persis mukanya (Gahi) dengan salah satu orang tua. Dipercaya jika anak yang lahir persis mukanya dengan ayah atau ibunya itu akan sering sakit-sakitan dan tidak akan berumur panjang. Untuk menghilangkan, mengobati atau mencegah hal yang buruk ini terjadi maka orang tua yang persis mukanya dari anak tersebut harus 'MEMBELI MUKA (RAUT WAJAH)' anaknya tersebut, dalam bahasa lokal inilah yang disebut dengan tradisi 'MULUANG GAHI'. Uang hasil membeli itu dimasukan ke kas Gereja. Demikian tradisi ini dilakukan dan terjaga hinga sekarang.

MANGAUNG HIWA

Mangaung Hiwa termasuk tradisi atau kearifan lokal Sangihe Siau yang masih terjaga hingga sekarang ini. Hampir semua wilayah masih mempertahankan kearifan lokal ini. Mangaung hiwa dilakukan pada saat orang tua merasah bahwa anak mereka sering sakit-sakitan karena ulah atau kesalahan mereka. Mereka merasakan pangkuan mereka tidak hangat lagi bagi si anak maka perlu pangkuan yang lebih adem demi kelanjutan pertumbuhan sang anak baik fisik maupun mental spiritual. Maka dicarilah orang tua tersebut untuk dilakukan prosesi melepas pangkuan atau mengangkat anak dari pangkuan yang tidak hangat (orang tua kandung) ke pangkuan yang lebih adem (orang tua yang sudah ditentukan/dipilih). Jadi sederhananya proses ini seperti mengangkat dan meletakan kembali ke pangkuan yang lain dalam bahasa lokal disebutlah MANGAUNG HIWA.
Prosesi mangaung hiwa: biasanya telah dihadiri oleh beberapa kerabat terdekat ada juga yang sengaja di'note' (undang).
Orang tua melakukan sembahyang secara pribadi sebelumnya dihadapan piring yang berisi air juga daun tawaan (dakalung tawaang) dan dakalu kalu haghi, daun ini umumnya dipakai untuk batas tanah (pusarang). Ini dijadikan sebagai penyejuk (TATAHULENDING) dengan cara mengibaskan atau memancarkan air tersebut ke beberapa bagian rumah dengan manggunakan dakalung tawaang atau kalu haghi tadi.
Selanjutnya kedua pasangan orang tua duduk berhadapan, orang tua kandung yang sementara memangku anaknya dan bersiap menyerahkan, mengucapkan doa dan harapan:
'' i kami dua singkawingang mupupendang sulralrung pudalrahiking i kami dua maulri salrane. Su salra ii aramanungu nakoa lrawe su ana ii, haki u tatuwone masau sahindakeng. Nau ipupendang hiwa i kami dua ko seng mateti. Nau su orase ii iaung, ionggo su hiwa malralrending''
kemudian menyerahkan anak kepada orang tua yang dipilih tadi.
Orang tua yang menerima mengucapkan doa dan syukur
''su tengong komolrang ko mawantuge nangilembong su tengong Mawu Ruata makoa kere sahiding su orase ii, i kami dua singkawingang dingang naung malruase manarima ana ii, i hiking kere ana i kami dua tutune. Mawu Mangalramate''.
Air yang ada di piring tadi kemudian dibasuh ke raut muka si anak sebagai bentuk hiwa telah niaung. Biasanya akhir-akhir ini, prosesi ini dilanjutkan dengan ibadah syukur.
Demikian tradisi ini dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi.

MUNDEME ANA
dari penyebutannya kearifan lokal ini kedengeran negatif karena mundeme ana terjemahan harfianya adalah ‘membuang anak’. Tapi tidaklah demikian adanya. Tradisi mundeme ana ini dilakukan penyebabnya hampir sama dengan tradisi 'muluang gahi' dan 'mengaung hiwa' yang ditulis sebelumnya. Yang membedakan hanyala pada prosesi. Pada mundeme ana ini, prosesinya dilakukan dengan meletakan anak di tengah jalan menuju rumah orang tua, anak diletakan di atas 'kalrekube' (pelepa daun pinang) kemudian orang tua target untuk anak yang dibuang ini berjalan dan memungut anak ini (seolaholah) menemukannya. Kemudian sesampai dirumah orang tua anak tersebut, orang tua yang menemukan itu mengumumkan kabar gembira ini ke orang banyak yang sudah hadir (di note) saat itu. Biasanya ditutup dengan ibadah syukuran keluarga.
Dari 3 prosesi kearifan lokal ini (muluang gahi, mangaung hiwa, mundeme ana) biasanya selalu diakhiri dengan menanam pohon untuk si anak ini sebagai pertanda kehidupan. Pohon yang ditanam umumnya adalah pohon kelapa, karena pohon kelapa hampir seluruhnya bisa digunakan (akar hingga daunya) serba guna. Harapan anak bisa bertumbuh dan berguna untuk orang banyak.
Demikian kearifan lokal untuk anak-anak bayi yang masih hidup di tanah karangetang Siau.

0 komentar:

Posting Komentar