21.34 -
No comments


ANCAMAN PEMILU BAGI KELANJUTAN HIDUP BERBANGSA
Pemberian otonomi daerah tidak membawa
berkah bagi daerah atau rakyat di daerah, karena secara de facto di dalam praktek pemerintahan para penguasa di daerah lebih
merasa sebagai raja-raja kecil yang menguasai daerahnya ketimbang sebgai orang
yang mau melayanai daerah atau rakyatnya. Di dalam praktek baik yang dilakukan oleh
partai politik, maupun oleh elite politik dari masa pemerintahan Presiden Soekarno
sampai kemasa Pemerintahan SBY sekarang cenderung tidak berubah. Praktek perpolitikan
di tanah air ini hingga di penghujung masa pemerintahan SBY tampaknya belum bergeser
dari paradigma lama. Paradigma lama masih cukup dominan dalam praktek politik
di tanah air yaitu politik yang berorientasi pada ‘artikulasi kepentingan’. Padahal kita mempunyai ideologi Pancasila
yang bisa dijadikan landasan berpolitik.
Membaca kembali realita pemilu,
pemilukada, dan pilpres yang sangat kasatmata dan menjadi rahasia umum adalah bagaimana
perilaku para pemilih dan elit politik yang tampil kepermukaan jelas tampak bahwa
elite politik di negeri ini masih mengandalkan kekuasaan dalam semua sepak terjang
politiknya. Sementara pertimbangan lain seperti moral, etika dan ilmu pengetahuan
kurang diperhatikan. Ketimpangan seperti
inilah menjadi kekuatiran kaum muda/intelek karena bisa membahayakan praksis politik
yang bakal dijalankan dan diperaktekan. Rakyat selalu menjadi korban dari model
perpolitikan seperti ini dan pembangunan politik yang tidak condong kepenguasa tapi
pro pada rakyat hanya menjadi mimpi di siang bolong.
Praktek politik yang orientasi pada
kekuasaan ini telah menggiring bangsa pada demokrasi yang buta arah, melenceng dari
apa yang diharapkan oleh segenap rakyat. Rakus terhadap kekuasaan menjadikan elit politik
buta hati dan mencari jalan pintas untuk memuluskan jalannya. Politik uang menjadi
alternatif paling jitu untuk memenangkan hati rakyat agar terpikat dan memilih.
Praktek ini bertumbuh subur pada institusi
negara maupun swasta/pemodal yang menyuplai dana pada elit politik yang akan berkuasa
demi memuluskan praktek kapitalisnya (simbiosis mutulisme). Janganlah heran kalau
beberapa survei mengemukakan bahwa partai politik menjadi lembaga terkorup di
Indonesia, disusul lembaga legislatif (DPR), Polisi dan bea cukai, peradilan dan
pajak, lembaga pendidikan dan peralatan, militer, pelayanan kesehatan, lembaga
agama dst.
Praktek politik uang pada lembaga
legislatif dan partai politik ini bisa terjadi karena ada beberapa faktor seperti;
(1) Anggota DPR Indonesia (pusat maupun daerah) didominasi oleh orang-orang
yang direkrut dari paratai politik dan perekrutannya tidak mengedepankan kualitas
tapi melihat kedekatan dengan penguasa dan faktor ekonomi sebagai penunjang kebesaran
partai. (2) Partai politik Indonesia belum bisa hidup dari iuran anggotanya sehingga
mengakibatkan partai politik mencari uang dari jabatan-jabatan strategis yang
diperoleh dari anggotanya. (3) Para politisi Indonesia memiliki kecenderungan menyalahgunakan
kekuasaan, baik untuk meraih keuntungan bagidirinya maupun partai politiknya.
Kondisi bangsa yang kian terpuruk
hingga saat ini jelas terlihat dari rusaknya mental rakyat; dekadensi moral,
brutalnya life style, kriminalitas aparatur
negara, kriminalitas pengusaha, dll yang berimbas pada negara yang mengawetkan kemelaratan,
bangsa yang tidak bisa menciptakan teknologi kemesinan, bangsa yang rakyatnya terlalu
feodal dan fanatik. Rakyat kehilangan pegangan, kehilangan pemimpin yang bisa mengayomi,
kehilangan negara yang bisa memberikan kemakmuran, kesejahteraan dan perlindungan
(rasa aman). Kondisi ini menjadi momok yang menakutkan bagi kelangsungan PEMILU
bahkan Pemilukada. Rakyat jadi pesimis dengan orang-orang yang mereka pilih,
pemimpin yang cenderung mementingkan partai politiknya dibanding kepentingan
orang banyak. Rakyat jadi bosan dengan sering memilih tapi negara tidak pernah beranjak
dari kondisi yang ada malahan semakin mundur. Rakyat jadi malas untuk menggunakan
hak pilihnya (golput), menggunakan hakpilihnya dengan asal-asalan atau karena bujukan
orang terdekat. Rakyat tidak memilih secara rasional karena telah tertanam dalam
pikiran mereka ‘toh setelah mereka terpilih,
mereka juga lupa sama rakyat dan kondisi bangsa tidak pernah berubah’.
Rakyat tidak bersuara karena resim
yang begitu lama berkuasa di negara ini telah menanamkan sikap pada kaum muda dan
rakyat untuk menjauhi dunia politik, politik dikampanyekan dan dipraktekan dengan
hal-hal kotor, kejam, brutal, jahat, busuk, anarakis, dsb. Rakyat dikondisikan menjadi
takut, diajarakan jadi penakut, rakyat diteror, diintimidasi, diculik, dibunuh,
dimiskinkan, dsb. Akibatnya mereka menghindar berpolitik dan berprilaku apatis.
Jika kondisi bangsa sudah seperti ini berarti kita tinggal menungguh saatnya tiba
untuk runtuh sebagai suatu negara.