Rabu, 26 Februari 2014

21.34 - No comments

ANCAMAN PEMILU BAGI KELANJUTAN HIDUP BERBANGSA



Pemberian otonomi daerah tidak membawa berkah bagi daerah atau rakyat di daerah, karena secara de facto di dalam praktek pemerintahan para penguasa di daerah lebih merasa sebagai raja-raja kecil yang menguasai daerahnya ketimbang sebgai orang yang mau melayanai daerah atau rakyatnya. Di dalam praktek baik yang dilakukan oleh partai politik, maupun oleh elite politik dari masa pemerintahan Presiden Soekarno sampai kemasa Pemerintahan SBY sekarang cenderung tidak berubah. Praktek perpolitikan di tanah air ini hingga di penghujung masa pemerintahan SBY tampaknya belum bergeser dari paradigma lama. Paradigma lama masih cukup dominan dalam praktek politik di tanah air yaitu politik yang berorientasi pada ‘artikulasi kepentingan’. Padahal kita mempunyai ideologi Pancasila yang bisa dijadikan landasan berpolitik.
Membaca kembali realita pemilu, pemilukada, dan pilpres yang sangat kasatmata dan menjadi rahasia umum adalah bagaimana perilaku para pemilih dan elit politik yang tampil kepermukaan jelas tampak bahwa elite politik di negeri ini masih mengandalkan kekuasaan dalam semua sepak terjang politiknya. Sementara pertimbangan lain seperti moral, etika dan ilmu pengetahuan kurang diperhatikan.  Ketimpangan seperti inilah menjadi kekuatiran kaum muda/intelek karena bisa membahayakan praksis politik yang bakal dijalankan dan diperaktekan. Rakyat selalu menjadi korban dari model perpolitikan seperti ini dan pembangunan politik yang tidak condong kepenguasa tapi pro pada rakyat hanya menjadi mimpi di siang bolong.
Praktek politik yang orientasi pada kekuasaan ini telah menggiring bangsa pada demokrasi yang buta arah, melenceng dari apa yang diharapkan oleh segenap rakyat.  Rakus terhadap kekuasaan menjadikan elit politik buta hati dan mencari jalan pintas untuk memuluskan jalannya. Politik uang menjadi alternatif paling jitu untuk memenangkan hati rakyat agar terpikat dan memilih.  Praktek ini bertumbuh subur pada institusi negara maupun swasta/pemodal yang menyuplai dana pada elit politik yang akan berkuasa demi memuluskan praktek kapitalisnya (simbiosis mutulisme). Janganlah heran kalau beberapa survei mengemukakan bahwa partai politik menjadi lembaga terkorup di Indonesia, disusul lembaga legislatif (DPR), Polisi dan bea cukai, peradilan dan pajak, lembaga pendidikan dan peralatan, militer, pelayanan kesehatan, lembaga agama dst.
Praktek politik uang pada lembaga legislatif dan partai politik ini bisa terjadi karena ada beberapa faktor seperti; (1) Anggota DPR Indonesia (pusat maupun daerah) didominasi oleh orang-orang yang direkrut dari paratai politik dan perekrutannya tidak mengedepankan kualitas tapi melihat kedekatan dengan penguasa dan faktor ekonomi sebagai penunjang kebesaran partai. (2) Partai politik Indonesia belum bisa hidup dari iuran anggotanya sehingga mengakibatkan partai politik mencari uang dari jabatan-jabatan strategis yang diperoleh dari anggotanya. (3) Para politisi Indonesia memiliki kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan, baik untuk meraih keuntungan bagidirinya maupun partai politiknya.
Kondisi bangsa yang kian terpuruk hingga saat ini jelas terlihat dari rusaknya mental rakyat; dekadensi moral, brutalnya life style, kriminalitas aparatur negara, kriminalitas pengusaha, dll yang berimbas pada negara yang mengawetkan kemelaratan, bangsa yang tidak bisa menciptakan teknologi kemesinan, bangsa yang rakyatnya terlalu feodal dan fanatik. Rakyat kehilangan pegangan, kehilangan pemimpin yang bisa mengayomi, kehilangan negara yang bisa memberikan kemakmuran, kesejahteraan dan perlindungan (rasa aman). Kondisi ini menjadi momok yang menakutkan bagi kelangsungan PEMILU bahkan Pemilukada. Rakyat jadi pesimis dengan orang-orang yang mereka pilih, pemimpin yang cenderung mementingkan partai politiknya dibanding kepentingan orang banyak. Rakyat jadi bosan dengan sering memilih tapi negara tidak pernah beranjak dari kondisi yang ada malahan semakin mundur. Rakyat jadi malas untuk menggunakan hak pilihnya (golput), menggunakan hakpilihnya dengan asal-asalan atau karena bujukan orang terdekat. Rakyat tidak memilih secara rasional karena telah tertanam dalam pikiran mereka ‘toh setelah mereka terpilih, mereka juga lupa sama rakyat dan kondisi bangsa tidak pernah berubah’.
Rakyat tidak bersuara karena resim yang begitu lama berkuasa di negara ini telah menanamkan sikap pada kaum muda dan rakyat untuk menjauhi dunia politik, politik dikampanyekan dan dipraktekan dengan hal-hal kotor, kejam, brutal, jahat, busuk, anarakis, dsb. Rakyat dikondisikan menjadi takut, diajarakan jadi penakut, rakyat diteror, diintimidasi, diculik, dibunuh, dimiskinkan, dsb. Akibatnya mereka menghindar berpolitik dan berprilaku apatis. Jika kondisi bangsa sudah seperti ini berarti kita tinggal menungguh saatnya tiba untuk runtuh sebagai suatu negara.

0 komentar:

Posting Komentar