Minggu, 25 Mei 2014

20.54 - No comments

MENGAIS HARAP PADA PENDIDIKAN DI TENGAH JAMUR PESIMIS*



Sebagai sebuah bangsa yang besar negeri ini sudah jauh melangka namun perjalanan ini serasa tak tentu arah. Kita terjebak dalam pentas panggung globalisasi yang kian carut dan menenggelamkan identitas kita yang kehilangan arah. Harapan untuk melangka maju kian hari kian pesimis. Kita mengalah pada kaum borjuis hingga terbuai dalam blantika hedonis.
Pentas pluralitas tak bermakna bhineka, burung garuda hanya menjadi pajangan bak boneka, semua ini karena gradasi trias politika tanpa memikirkan arti dari republika. Kaum oportunis menari-nari ditengah penderitaan rakyat, menipu manis dalam retorika kebijakan untuk meredam suara kekritisan. Semua ini memunculkan pertanyaan; siapakah yang membangunkan kita dari tidur panjang ini? Siapakah pembersih noda bangsa ini? Siapakah korektor identitas bangsa ini? Siapakah navigasi penentuh arah jalan bangsa ini?..
Satu jawaban… PENDIDIKAN

Para pendiri republik (founding fathers’s) telah mengamanatkan dalam konstitusi bahwa negara Indonesia didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita ini, dari sejak republik berdiri hingga detik ini seolah terus menjadi utopia nasional, yang justru terjadi karena salah kelola kekuasaan. Jika ditakar secara statisitik, mungkin kita termasuk bangsa yang memiliki sekolah dimana-mana hingga ke pelosok desa-desa terpencil. Walau begitu, sistem pendidikan nasional belumlah mampu mengangkat bengsa ini untuk dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainya.
Selain poin cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dalam pertimbangan UU RI NO 20 TAHUN 2003 tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL adalah bahwa system pendindikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan evisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Realitanya kita bisa lihat kondisi bangsa sekarang ini, tariklah perubahannya sejak 2003 pasca UU ini diberlakukan. Kondisinya masih tetap belum beranjak.
Tanpa bangsa yang cerdas, Indonesia hanya menjadi korban dari penjajahan ekonomi dan konspirasi-konspirasi negara-negara kuat di dunia. Dalam pada itu, tentu saja kecerdasan tidaklah lengkap tanpa bangunan moralitas dan nasionalisme yang kuat namun tetap kritis, baik terhadap penguasa sendiri.
Dalam realita pendidikan Indonesia kontemporer, pengaruh globalisasi membangun peran ambivalen terhadap hakekat pendidikan. Orientasi pendidikan dikacaukan oleh prioritas melayani persaingan global ketimbang memelihara harmoni lokal. Globalisasi talah berhasil mendekontekstualisasi arah pendidikan menuju visi kapitalisme. Pendidkan berorientasi pasar, berlogika kuantitas hingga upaya privatisasi adalah beberapa contoh dari gejala ketertundukan pendidikan terhadap hasrat kapitalisme global.
Lembaga pendidiakn formal yang seyogianya menjadi arena transformasi dan konserfasi nilai nilai budaya pun kini mulai kehilangan kemurnianya. Lembaga pendidikan tersandra oleh kepentingan kapitalisme. Praktek lembaga pendidikan lebih dominan bersifat teknis yang mis-filsofis dan tuna-historis.
Dalam kondisi ini, merekontekstualisasi atau memurnikan kembali arah pendidikan nasional menjadi hal yang mutlak dilakukan. Mengacu pada kodrat filosofis dan historis pendidikan nasional, konteks pendidikan perlu diluruskan dalam membangun jati diri bangsa di tengah dinamika kondisi global. Konsepsi pendidikan yang berpacu pada kodrat filosofis dan historis akan bermuara pada penyemaian karakter lokal bangsa. Penguatan karakter lokal pada praktik pendidikan akan berujung pada kemajuan suatu bangsa.
“bangsa yang maju ialah bangsa yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa” Francis Fukuyama





* Disampaikan pada diskusi pendidikan dalam rangka dies natalis AKM Sitaro dan Hardiknas 2014.

0 komentar:

Posting Komentar