20.54 -
No comments


MENGAIS HARAP PADA PENDIDIKAN DI TENGAH JAMUR PESIMIS*
Sebagai
sebuah bangsa yang besar negeri ini sudah jauh melangka namun perjalanan ini
serasa tak tentu arah. Kita terjebak dalam pentas panggung globalisasi yang
kian carut dan menenggelamkan identitas kita yang kehilangan arah. Harapan
untuk melangka maju kian hari kian pesimis. Kita mengalah pada kaum borjuis
hingga terbuai dalam blantika hedonis.
Pentas
pluralitas tak bermakna bhineka, burung garuda hanya menjadi pajangan bak boneka,
semua ini karena gradasi trias politika tanpa memikirkan arti dari republika.
Kaum oportunis menari-nari ditengah penderitaan rakyat, menipu manis dalam
retorika kebijakan untuk meredam suara kekritisan. Semua ini memunculkan
pertanyaan; siapakah yang membangunkan kita dari tidur panjang ini? Siapakah
pembersih noda bangsa ini? Siapakah korektor identitas bangsa ini? Siapakah
navigasi penentuh arah jalan bangsa ini?..
Satu jawaban… PENDIDIKAN
Para pendiri republik (founding fathers’s) telah mengamanatkan dalam konstitusi bahwa
negara Indonesia didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita ini,
dari sejak republik berdiri hingga detik ini seolah terus menjadi utopia
nasional, yang justru terjadi karena salah kelola kekuasaan. Jika ditakar secara
statisitik, mungkin kita termasuk bangsa yang memiliki sekolah dimana-mana
hingga ke pelosok desa-desa terpencil. Walau begitu, sistem pendidikan nasional
belumlah mampu mengangkat bengsa ini untuk dapat berdiri sejajar dengan
bangsa-bangsa lainya.
Selain poin
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dalam pertimbangan UU RI NO 20 TAHUN
2003 tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL adalah bahwa system pendindikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu serta relevansi dan evisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah, dan berkesinambungan. Realitanya kita bisa lihat kondisi bangsa
sekarang ini, tariklah perubahannya sejak 2003 pasca UU ini diberlakukan.
Kondisinya masih tetap belum beranjak.
Tanpa bangsa yang cerdas, Indonesia hanya menjadi
korban dari penjajahan ekonomi dan konspirasi-konspirasi negara-negara kuat di
dunia. Dalam pada itu, tentu saja kecerdasan tidaklah lengkap tanpa bangunan
moralitas dan nasionalisme yang kuat namun tetap kritis, baik terhadap penguasa
sendiri.
Dalam realita
pendidikan Indonesia kontemporer, pengaruh globalisasi membangun peran ambivalen
terhadap hakekat pendidikan. Orientasi pendidikan dikacaukan oleh prioritas
melayani persaingan global ketimbang memelihara harmoni lokal. Globalisasi
talah berhasil mendekontekstualisasi arah pendidikan menuju visi kapitalisme.
Pendidkan berorientasi pasar, berlogika kuantitas hingga upaya privatisasi
adalah beberapa contoh dari gejala ketertundukan pendidikan terhadap hasrat
kapitalisme global.
Lembaga
pendidiakn formal yang seyogianya menjadi arena transformasi dan konserfasi
nilai nilai budaya pun kini mulai kehilangan kemurnianya. Lembaga pendidikan
tersandra oleh kepentingan kapitalisme. Praktek lembaga pendidikan lebih
dominan bersifat teknis yang mis-filsofis dan tuna-historis.
Dalam kondisi
ini, merekontekstualisasi atau memurnikan kembali arah pendidikan nasional
menjadi hal yang mutlak dilakukan. Mengacu pada kodrat filosofis dan historis
pendidikan nasional, konteks pendidikan perlu diluruskan dalam membangun jati
diri bangsa di tengah dinamika kondisi global. Konsepsi pendidikan yang berpacu
pada kodrat filosofis dan historis akan bermuara pada penyemaian karakter lokal
bangsa. Penguatan karakter lokal pada praktik pendidikan akan berujung pada
kemajuan suatu bangsa.
“bangsa yang maju ialah bangsa
yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa” Francis Fukuyama
* Disampaikan pada diskusi pendidikan dalam rangka
dies natalis AKM Sitaro dan Hardiknas 2014.