
Ada pertanyaan
provokatif dari seorang ahli pendidik, Drost (1990), ‘untuk apa sebuah
perguruan tinggi didirikan?. Maksud dari pertanyaan tersebut adalah
supaya ketika kita membahas atau mencermati sejarah perkembangan sebuah
lembaga seperti halnya perguruan tinggi, adalah sangat penting untuk
kembali kita mengenali visi, misi, dan cita-cita dasarnya agar kita
tetap konsisten dan kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman.
Keberadaan atau lahirnya sebuah lembaga apalagi perguruan tinggi seperti
UNIMA bukanlah muncul begitu saja tanpa ada alasan atau rencana jangka
panjang tertentu. Hal ini pasti tersinkron dengan visi dan misi yang
dicita-citakan oleh para pendahulu yang menggagas dan mendirikan lembaga
tersebut sehingga nantinya turut memberikan arah dan pedoman ke mana
arah lembaga ini dijalankan. Untuk lembaga perguruan tinggi sekelas
Unima kita perlu kembali mengingat latar historis, konteks social,
tuntutan zaman, dan visi para penggagas dan pendirinya sehingga nanti
kita bisa melihat dan membaca bagaimana proses kesinambungan dan
perubahan dalam sejarah perkembangan perguruan tinggi yang kita cintai
ini.
Drost (1990), menjawab pertanyaannya tersebut dengan
menyebutkan bahwa; salah satu tujuan utama sebuah perguruan tinggi
didirikan, dimanapun dan kapanpun adalah untuk membentuk kader-kader
intelektual demi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu
sisi,dan demi pembangunan bangsa dan negara di sisi lain. Dan salah satu
unsur dari civitas akademika perguruan tinggi yaitu para mahasiswanya.
Mahasiswa juga dididik dengan maksud agar mereka menjadi manusia yang
utuh dengan kualitas intelektual dan moral yang baik demi kemajuan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan manusia lainnya dalam lingkup profesi masing-masing. Tujuan yang masih umum ini tentu saja bisa dispesifikkan sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi kita ini dalam konteks jiwa zaman dan tantangan sekitar dan masa depan.
Unima memiliki sejarah yang panjang sejak berdirinya pada 1955. UNIMA
berasal dari Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) - satu dari empat
PTPG yang didirikan pertama di Indonesia yaitu PTPG Batusangkar, PTPG
Malang, PTPG Bandung, PTPG Tondano, berdasarkan SK Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 2450/KB/1955 tanggal 22
September 1955. PTPG Tondano mengalami berbagai perubahan: mula-mula
menjadi FKIP Universitas Hasanuddin Makassar, lalu berubah menjadi FKIP
Unhas Tondano di Manado, FKIP Unsulutteng, IKIP Yogyakarta Cabang
Manado, dan terakhir menjadi IKIP Manado yang berdiri sendiri
berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 38 tanggal 8 Maret 1965
juncto Keppres Nomor 275 Tahun 1965 tanggal 14 September 1965. Pada 13
September 2000, IKIP Manado dikonversi menjadi Universitas Negeri Manado
berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 2000 dan
diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Bapak
Yahya Muhaimin pada tanggal 14 Oktober 2000. Berdasarkan Keppres RI
Nomor 127 Tahun 2000, memiliki fungsi ganda, yaitu selain menciptakan
tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang kependidikan, juga
menciptakan tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang
non-kependidikan. Visi UNIMA: “Menjadi lembaga yang bermartabat,
bermutu, unggul dan kompetitif dalam menyelenggarakan program
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Misi UNIMA:
(1)Mewujudkan proses pendidikan yang mampu mengemban fungsi sebagai LPTK
dalam menghasilkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional.
(2)Mewujudkan pendidikan yang bermutu baik input, proses, maupun output,
berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. (3)Mewujudkan
pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntabel dan produktif
melalui tata kelola yang sehat (good governance) dalam bingkai otonomi
daerah dan desentralisasi di bidang pendidikan. (4)Mewujudkan kapasitas
penelitian yang inovatif dan bermutu dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama di bidang pendidikan dan pengajaran,
dan pemecahan masalah pembangunan nasional dan daerah. (5)Mewujudkan
kapasitas dan mutu transfer teknologi dan seni dalam kerangka pengabdian
pada masyarakat dan penguatan revenue generating. (6)Mewujudkan social
responsibility dalam kerangka pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia.
Pendidikan berkualitas tetapi terjangkau yang sudah diseminarkan di
Unima (International seminar on quality and affordable education)
merupaka suatu niat baik lembaga ini untuk bertransformasi menuju
perguruan tinggi yang diperhitungkan. Niat baik ini haruslah mendapat
respon positif dari setiap elemen yang berhubungan langsung dengan
lembaga ini, baik civitas akademik maupun masyarakat Sulawesi Utara
secara umum. Dengan respon yang baik bukan tidak mungkin mimpi untuk
menjadi universitas dengan pendidikan berkualitas tetapi terjangkau ini
bisa terwujud. Mimipi untuk mensejajarkan diri dengan beberapa perguruan
tinggi terkemuka di negeri ini maupun Asia adalah mutlak untuk bisa
dicapai.
Menggapai mimpi besar ini pastilah tidak semuda membalikan
telapak tangan. Butuh sinergitas bagi kita semua untuk bahu-membahu
mewujudkan cita-cita mulia ini. Penyatuan pendapat, persepsi, kritik,
saran, motivasi yang benar adalah langka awal paling dasar untuk kita
melangka lebih jauh, seperti halnya seminar internasional beberapa hari
yang lalu itu. Untuk menjadikan niat baik yang telah diseminarkan itu
menjadi lebih ringan untuk dikonsumsi seluruh masyarkat UNIMA maupun
Sulut, maka saya membuat tulisan sederhana ini sebagai bagian dukungan
untuk transformasi lembaga ini. Tulisan ini tentunya belumlah sempurna,
bukan juga sifatnya untuk menggurui, jika ada perbedaan pendapat
anggaplah suatu kewajaran dan harap dimaklumi.
Menarik
benang merah hulu dan hilir permasalahan dan solusi perguruan tinggi
(UNIMA) menuju lembaga pendidikan berkulitas tetapi terjangaku.
Permasalahan yang perlu mendapat perhatian pada perguruan tinggi yang
pertama adalah diskontinuitas antara SMA dan perguruan tinggi yang
cenderung memiliki dunianya sendiri-sendiri. Berbeda dengan SD, SMP, dan
SMA, kontinuitas kurikulum SMA ke perguruan tinggi agak terputus. Hal
ini bisa dilihat dengan berbagai hal seperti registrasi, tes seleksi
masuk, migrasi ke kota, pemondokan, tujuan kuliah, dan kesiapan belajar.
Masa transisi ini sangat membingungkan mahasiswa dan belum banyak
diantisipasi dan diperhatikan oleh pihak-pihak tertentu sehingga muncul
kesenjangan antara harapan guru SMA dan dosen perguruan tinggi. Pada
umumnya (calon) mahasiswa kurang mengusai keterampilan belajar seperti
membaca kritis, menulis akademik, dan keterampilan menggunakan computer
yang merupakan kunci sukses belajar di perguruan tinggi. Umumnya di
perguruan tinggi yang kita cintai ini tidak menyediakan program remedial
bagi mahasiswa baru.
Kedua, tidak jelas tujuan atau misi perguruan
tinggi. Bila yang dikejar oleh perguruan tinggi adalah kebutuhan pasar
dan mahasiswa sebanyak-banyaknya, maka misi suci perguruan tinggi bisa
jadi terabaikan, yakni menghasilkan manusia terdidik. Muncul dikotomi
antara dunia kerja atau profesionalisme yang spesifik dan kecakapan
berbudaya secara umum. Bisa jadi program studi malah menjadi penjara
bagi mahasiswa, yakni menjadikannya robot dengan keterampilan sempit
tanpa kecakapan hidup. Tantangannya adalah bagaimana memadukan
pengetahuan budaya dalam kurikulum program studi, kurikulum fakultas,
atau kurikulum universitas secara proporsional. Hal ini nantinya akan
membangun kemampuan bernalar dan kemampuan menimbang atau memberikan
putusan benar-salah, indah-buruk, menguntungkan-merugikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Ketiga, konflik yang dihadapi dosen antara
kewajiban mengajar dan kewajiban meneliti. Tugas utama dosen adalah
mengajar mahasiswa dengan efektif dan melayani mahasiswa dengan baik. Di
sisi lain, dosen juga harus meneliti dan mempublikasikan penelitiannya
dalam jurnal ilmiah, buku teks, dan media masa. Menjadi permaslahan
adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keduanya. Ada juga dosen
yang mendapat jabatan struktural, dan mereka harus bisa menjadi manejer
yang baik. Biasanya sulit bagi dosen untuk sukses sekaligus dalam tiga
bidang ini. Karena tidak semua dosen memiliki kesempatan menjadi
birokrat, maka sebaiknya penghargaan finansial dan non-finasial atas
prestasi penelitian dan penulisan buku teks tidak lebih kecil daripada
prestasi birokratis.
Keempat, sulit sekali menumbuhkan kreativitas
di kalangan mahasiswa. Kultur akademik di SMA yaitu sikap pasif dan
menunggu masih terbawa ke bangku kuliah. Mahasiswa nantinya akan serius
mempelajari suatu topik kalau diberitahu bahwa topik itu akan jadi bahan
ujian. Dalam perkuliahan sulit ditemukan adanya dialog cerdas dan
interaktif. Idealnya perkuliahan terjadi dalam kelas-kelas kecil,
sehingga setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk berpartisipasi
secara cerdas. Di sanalah tradisi ditantang, kejumudan atau kebekuan
dihalau, gagasan diuji, kepercayaan diperdebatkan secara ilmiah, dan
kreativitas ditumbuhkan.
Kelima, perguruan tinggi diciptakan seperti
menara gading bukannya seperti laboratorium kehidupan. Banyak orang tua
masih melihat ke(pasca)sarjanaan sebagai symbol status social.
Perguruan tinggi seakan mengisolasi diri, sehingga apa yang terjadi di
ruang kuliah sedikit kaitannya dengan dunia di luar kampus. Bagaimana
agar kegiatan di luar kampus mendukung visi dan misi perguruan tinggi.
Bagaimana mengatasi ketegangan antara kebebasan mahasiswa di kampus
dengan kewenangan lembaga. Dan juga bagaimana agar perguruan tinggi
memberikan kesempatan munculnya kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di
kampus. Intinya dalam era globalisasi seperti ini adalah bagaimana
perguruan tinggi menyiapkan mahasiswa agar siap bertahan hidup dalam
kompetisi global.
Keenam, perihal evaluasi hasil pendidikan.
Prestasi akademik mahasiswa sangat tergantung pada dosen per mata
kuliah. Nilai akhir atau IPK dalam rentang 1,00 sampai 4,00 adalah
ukuran keterdidikan manusia. Bila pendidikan dimaknai sebagai upaya
membentuk sarjana sebagai manusia seutuhnya, maka persoalannya adalah
bagaimanakah kualitas kemanusiaan yang begitu kompleks disederhanakan
dengan sebuah IPK. Sementara itu, tidak semua dosen adalah penilai yang
baik. Tampaknya, dalam menentukan IPK perlu dikembangkan berbagai format
penilaian yang tidak hanya mengukur potensi intelektual, tetapi juga
potensi non-intelektual seperti yang diniati oleh perkuliahan
pengetahuan budaya.
Selanjutnya, dalam kompetisi global ini,
gagasan jaminan mutu atau quality assurance memang mutlak harus ada agar
melalui uji mutu secara berkesinambung kepercayaan publik semakin
tinggi. Dalam persaingan ini Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) ada
di garis depan. LPMP menjadi niscaya bagi perguruan tinggi karena di
sana ada dana publik yang ditarik dari masyarakat melalui SPP dan
dialirkan melalui APBN. LPMP adalah bukti komitmen perguruan tinggi
dalam menjaga amanat orang tua dan pemerintah. Melalui LPMP publik dapat
menilai peringkat perguruan tinggi relatif terhadap perguruan tinggi
lainnya. Mutu pendidikan dianggap baik bukanlah bila perkuliahan
berjalan lancar, tidak ada gejolak di kalangan dosen, subsidi pemerintah
jalan terus, dan pemimpin terpilih kembali. Semua ini bukanlah
indikator mutu, tetapi sekedar indikator manajemen perguruan tinggi
nasional yang belum tentu menjamin perbaikan kualitas pendidikan.
Penjaminan mutu adalah kegiatan sistematis melalui monitoring, inspeksi,
pengetesan, kaji ulang, pengecekan, penyesuaian, dan coba ulang.
Kebanyakan perguruan tinggi di negeri ini menganggap jaminan mutu itu
sebagai mekanisme yang pengawasan mutu dilakukan oleh pimpinan dari
rektor sampai ketua program studi atau jurusan. Dalam prakteknya mereka
lebih berperan sebagai kelompok administrator eksekutif yang kurang
memiliki kultur evaluative. Setahun sekali mereka dimonitoring tim
inspektorat, namun monitoring ini lebih berfokus pada formalitas
administratif bukan pada kualitas. Demikianlah kultur manajemen akademik
bangsa kita ini, jadi wajarlah jika perguruan tinggi di negeri kita
belumlah sejajar dengan perguruan tinggi papan atas Asia apalagi dunia.
Kualitas memang menjadi mantera ampuh dalam mengelolah perguruan tinggi
menuju kelas dunia. Revitalisasi peran LPMP menjadi hal yang mutlak
untuk kembali dibicarakan dan dilakukan. Antara lain dengan menggerakan
LPMP untuk; (1) menentukan kualitas yang mesti dicapai dalam segala
kegiatan, (2) menentukan prosedur kerja atau tertib kegiatan untuk
mencapai kualitas itu, (3) melakukan uji standar mutu ke perguruan
tinggi dalam dan luar negeri, dan (4) berperan sebagai mitra dalam
memberikan saran perbaikan bagi pimpinan perguruan tinggi dari hulu
sampai hilir.
LPMP berfokus pada kualitas, sedangkan monitoring
aspek administrasi (efisiensi manajemen pembiayaan) kegiatan diserahkan
kepada tim audit internal. LPMP lebih berorientasi pada perbaikan
kualitas yang sinambung sedangkan tim audit internal lebih berfokus pada
akuntabilitas publik, yakni upaya meyakinkan stakeholders bahwa
perguruan tinggi memberikan layanan yang berkualitas.
Akhirnya, demi
percepatan perbaikan, jajaran pimpinan dari rektor sampai pimpinan
program studi dan segala unit yang ada mesti menempatkan ‘kualitas’
sebagai strategi institusional. Semua personel di kampus kita ini dicuci
otak sehingga bibir dan hatinya bukan saja berbisik ‘kerja’ ‘kerja’
‘kerja’ tetapi juga ‘kualitas’ ‘kualitas’ dan ‘kualitas’.
*beberapa ide dalam tulisan ini disadur dari buku 'pokoknya BHMN' A. Chaedar Alwasilah