Rabu, 25 November 2015

22.06 - No comments

Sulawesi Utara dan Betapa Gurihnya Indonesia di Mata Dunia

 
Mengapa kita harus memiliki pengetahuan tentang wawasan nusantara? Karena dari wawasan nusantara ini kita bisa memahami geostrategi maupun geopolitik. Soekarno pernah berkata; Orang tidak bisa menyusun pertahanan nasional yang kuat, orang tidak bisa membangun bangsa yang kuat, kalau tidak berdasarkan pengetahuan geopolitik.
 

Terkait dengan pembangunan infrastruktur, dalam kajian Global Future Institute (GFI) pimpinan Hendrajit, kita (Indonesia) bisa menyerap inspirasi dari Rusia terkait dengan Proyek lintas perbatasan yang menghubungkan Timur dan Barat sebagai upaya membangun dampak positif dan menguntungkan bagi koneksitas berskala global. Yang mana, pembangunan ekonomi di Siberia, wilayah Rusia Timur, dijadikan landasan untuk menjadikan Siberia yang semula merupakan “halaman belakang” menjadi “halaman muka” karena Siberia merupakan pintu gerbang Rusia ke Asia Pasifik melalui jalur timur.
 
Seperti Rusia, Indonesia harus kembali menatap ke utara. Saatnya memanfaatkan wilayah utara sebagai pintu gerbang untuk menunjukan superior bangsa ini di bidang maritim. Saatnya Utara dilihat lagi sebagai “halaman muka” bukan “halaman Belakang” mengingat letak wilayahnya tepat di bibir pacific. Manfaatkan bibir pacific agar kita dapat berbicara lebih jauh dalam pertarungan global di pacific. Mari memandang Indonesia bukan dari barat ke timur saja, tapi utara ke selatan. Mari membicarakan Indonesia dari Utara, menatapnya dari atas agar lebih muda mengenalinya.
 
Utara Indonesia harus dibaca dengan cermat agar kita tidak menyesal di hari kemudian. Sulut sebagai provinsi paling utara di Indonesia, yang kini menjadi rebutan antara AS dan Tiongkok seharusnya menjadi topik paling hangat untuk kita bahas dalam persiapan peralihan kepemimpinan di Nyiur Melambai ini. Pasca WOC di Manado oleh AS dan KEK di Bitung oleh Tiongkok, kini AS kembali memperkuat genggamannya melalui pemanfaatan Manado sebagai gerbang utama internet Indoensia. Tanpa henti-hentinya dua Negara adi kuasa ini beradu strategi dalam perebutan pacific dan pemanfaatn Sulut sebagai perluasan wilayah perang asimetris.
 
Lihatlah, betapa gurihnya Indonesia di mata dunia, betapa cantik dan menawannya Ibu Pertiwi di mata paman Sam dan paman Mao. Jika tidak bisa membaca arah gerakan dua Negara adi kuasa ini untuk Indonesia, bukan tidak mungkin, ke depannya kita sebagai bangsa hanya akan jadi bulan-bulanan Negara asing karena kita tidak bisa berdaulat di darat, laut, maupun udara. Kita Negara besar, tidak mungkin bisa dihancurkan, sengaja karena kita hanya dipelihara sebagai masyarakat konsumen yang mengonsumsi produk Negara penguasa. Di jaga dengan baik sebelum sumber daya alamnya habis digerus, mungkin setelah selesai barulah kita dimusnahkan. Demikianlah masa depan kita.
 
Kembali ke utara Indonesia, mengapa saya sedikit ego ketika menuntut dan mendesak harus melihat Indonesia dari utara. Hal ini sudah bisa kita pahami dengan melihat dan memahami Indonesia dari empat penjuru mata angin. Mari kita lihat; di barat, Aceh ribut dengan GAM yang ingin lepas dari Indonesia; di timur, Papua bergejolak dengan OPM yang ingin lepas dari ibu Pertiwi; di selatan, Timor Leste sudah lepas dari NKRI. Di utara Indonesia, tidak ada gejolak apa pun. Utara Indonesia selama ini setia mengawal NKRI. Jangan sampai, sekali lagi jangan sampai ke depanya karena konflik global di pacific dan pertarungan asing di utara Indonesia ini akan mengakibatkan konflik social pada tataran masyarakat dan mengakibatkan adanya sparatis seperti yang terjadi di tiga penjuru negeri ini. Karena memang demikianlah umumnya nasib Negara yang wilayahnya menjadi proxy war.
 
Apakah salah jika nantinya utara Indonesia meminta perlakuan khusus karena hal-hal tersebut di atas?
Mari berpikir..
 

21.45 - No comments

MENGHANGATKAN KEMBALI SEMANGAT 4th ISQAE UNIMA


Ada pertanyaan provokatif dari seorang ahli pendidik, Drost (1990), ‘untuk apa sebuah perguruan tinggi didirikan?. Maksud dari pertanyaan tersebut adalah supaya ketika kita membahas atau mencermati sejarah perkembangan sebuah lembaga seperti halnya perguruan tinggi, adalah sangat penting untuk kembali kita mengenali visi, misi, dan cita-cita dasarnya agar kita tetap konsisten dan kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman. Keberadaan atau lahirnya sebuah lembaga apalagi perguruan tinggi seperti UNIMA bukanlah muncul begitu saja tanpa ada alasan atau rencana jangka panjang tertentu. Hal ini pasti tersinkron dengan visi dan misi yang dicita-citakan oleh para pendahulu yang menggagas dan mendirikan lembaga tersebut sehingga nantinya turut memberikan arah dan pedoman ke mana arah lembaga ini dijalankan. Untuk lembaga perguruan tinggi sekelas Unima kita perlu kembali mengingat latar historis, konteks social, tuntutan zaman, dan visi para penggagas dan pendirinya sehingga nanti kita bisa melihat dan membaca bagaimana proses kesinambungan dan perubahan dalam sejarah perkembangan perguruan tinggi yang kita cintai ini.
 
Drost (1990), menjawab pertanyaannya tersebut dengan menyebutkan bahwa; salah satu tujuan utama sebuah perguruan tinggi didirikan, dimanapun dan kapanpun adalah untuk membentuk kader-kader intelektual demi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi,dan demi pembangunan bangsa dan negara di sisi lain. Dan salah satu unsur dari civitas akademika perguruan tinggi yaitu para mahasiswanya. Mahasiswa juga dididik dengan maksud agar mereka menjadi manusia yang utuh dengan kualitas intelektual dan moral yang baik demi kemajuan, kesejahteraan, dan kemerdekaan manusia lainnya dalam lingkup profesi masing-masing. Tujuan yang masih umum ini tentu saja bisa dispesifikkan sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi kita ini dalam konteks jiwa zaman dan tantangan sekitar dan masa depan.
 
Unima memiliki sejarah yang panjang sejak berdirinya pada 1955. UNIMA berasal dari Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) - satu dari empat PTPG yang didirikan pertama di Indonesia yaitu PTPG Batusangkar, PTPG Malang, PTPG Bandung, PTPG Tondano, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 2450/KB/1955 tanggal 22 September 1955. PTPG Tondano mengalami berbagai perubahan: mula-mula menjadi FKIP Universitas Hasanuddin Makassar, lalu berubah menjadi FKIP Unhas Tondano di Manado, FKIP Unsulutteng, IKIP Yogyakarta Cabang Manado, dan terakhir menjadi IKIP Manado yang berdiri sendiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 38 tanggal 8 Maret 1965 juncto Keppres Nomor 275 Tahun 1965 tanggal 14 September 1965. Pada 13 September 2000, IKIP Manado dikonversi menjadi Universitas Negeri Manado berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 2000 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Bapak Yahya Muhaimin pada tanggal 14 Oktober 2000. Berdasarkan Keppres RI Nomor 127 Tahun 2000, memiliki fungsi ganda, yaitu selain menciptakan tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang kependidikan, juga menciptakan tenaga ahli dan tenaga profesional di bidang non-kependidikan. Visi UNIMA: “Menjadi lembaga yang bermartabat, bermutu, unggul dan kompetitif dalam menyelenggarakan program pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Misi UNIMA: (1)Mewujudkan proses pendidikan yang mampu mengemban fungsi sebagai LPTK dalam menghasilkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional. (2)Mewujudkan pendidikan yang bermutu baik input, proses, maupun output, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. (3)Mewujudkan pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntabel dan produktif melalui tata kelola yang sehat (good governance) dalam bingkai otonomi daerah dan desentralisasi di bidang pendidikan. (4)Mewujudkan kapasitas penelitian yang inovatif dan bermutu dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang pendidikan dan pengajaran, dan pemecahan masalah pembangunan nasional dan daerah. (5)Mewujudkan kapasitas dan mutu transfer teknologi dan seni dalam kerangka pengabdian pada masyarakat dan penguatan revenue generating. (6)Mewujudkan social responsibility dalam kerangka pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia.
 
Pendidikan berkualitas tetapi terjangkau yang sudah diseminarkan di Unima (International seminar on quality and affordable education) merupaka suatu niat baik lembaga ini untuk bertransformasi menuju perguruan tinggi yang diperhitungkan. Niat baik ini haruslah mendapat respon positif dari setiap elemen yang berhubungan langsung dengan lembaga ini, baik civitas akademik maupun masyarakat Sulawesi Utara secara umum. Dengan respon yang baik bukan tidak mungkin mimpi untuk menjadi universitas dengan pendidikan berkualitas tetapi terjangkau ini bisa terwujud. Mimipi untuk mensejajarkan diri dengan beberapa perguruan tinggi terkemuka di negeri ini maupun Asia adalah mutlak untuk bisa dicapai.
 
Menggapai mimpi besar ini pastilah tidak semuda membalikan telapak tangan. Butuh sinergitas bagi kita semua untuk bahu-membahu mewujudkan cita-cita mulia ini. Penyatuan pendapat, persepsi, kritik, saran, motivasi yang benar adalah langka awal paling dasar untuk kita melangka lebih jauh, seperti halnya seminar internasional beberapa hari yang lalu itu. Untuk menjadikan niat baik yang telah diseminarkan itu menjadi lebih ringan untuk dikonsumsi seluruh masyarkat UNIMA maupun Sulut, maka saya membuat tulisan sederhana ini sebagai bagian dukungan untuk transformasi lembaga ini. Tulisan ini tentunya belumlah sempurna, bukan juga sifatnya untuk menggurui, jika ada perbedaan pendapat anggaplah suatu kewajaran dan harap dimaklumi.

‪‎Menarik benang merah hulu dan hilir permasalahan dan solusi perguruan tinggi (UNIMA) menuju lembaga pendidikan berkulitas tetapi terjangaku.

Permasalahan yang perlu mendapat perhatian pada perguruan tinggi yang pertama adalah diskontinuitas antara SMA dan perguruan tinggi yang cenderung memiliki dunianya sendiri-sendiri. Berbeda dengan SD, SMP, dan SMA, kontinuitas kurikulum SMA ke perguruan tinggi agak terputus. Hal ini bisa dilihat dengan berbagai hal seperti registrasi, tes seleksi masuk, migrasi ke kota, pemondokan, tujuan kuliah, dan kesiapan belajar. Masa transisi ini sangat membingungkan mahasiswa dan belum banyak diantisipasi dan diperhatikan oleh pihak-pihak tertentu sehingga muncul kesenjangan antara harapan guru SMA dan dosen perguruan tinggi. Pada umumnya (calon) mahasiswa kurang mengusai keterampilan belajar seperti membaca kritis, menulis akademik, dan keterampilan menggunakan computer yang merupakan kunci sukses belajar di perguruan tinggi. Umumnya di perguruan tinggi yang kita cintai ini tidak menyediakan program remedial bagi mahasiswa baru.
 
Kedua, tidak jelas tujuan atau misi perguruan tinggi. Bila yang dikejar oleh perguruan tinggi adalah kebutuhan pasar dan mahasiswa sebanyak-banyaknya, maka misi suci perguruan tinggi bisa jadi terabaikan, yakni menghasilkan manusia terdidik. Muncul dikotomi antara dunia kerja atau profesionalisme yang spesifik dan kecakapan berbudaya secara umum. Bisa jadi program studi malah menjadi penjara bagi mahasiswa, yakni menjadikannya robot dengan keterampilan sempit tanpa kecakapan hidup. Tantangannya adalah bagaimana memadukan pengetahuan budaya dalam kurikulum program studi, kurikulum fakultas, atau kurikulum universitas secara proporsional. Hal ini nantinya akan membangun kemampuan bernalar dan kemampuan menimbang atau memberikan putusan benar-salah, indah-buruk, menguntungkan-merugikan dalam kehidupan sehari-hari.
 
Ketiga, konflik yang dihadapi dosen antara kewajiban mengajar dan kewajiban meneliti. Tugas utama dosen adalah mengajar mahasiswa dengan efektif dan melayani mahasiswa dengan baik. Di sisi lain, dosen juga harus meneliti dan mempublikasikan penelitiannya dalam jurnal ilmiah, buku teks, dan media masa. Menjadi permaslahan adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keduanya. Ada juga dosen yang mendapat jabatan struktural, dan mereka harus bisa menjadi manejer yang baik. Biasanya sulit bagi dosen untuk sukses sekaligus dalam tiga bidang ini. Karena tidak semua dosen memiliki kesempatan menjadi birokrat, maka sebaiknya penghargaan finansial dan non-finasial atas prestasi penelitian dan penulisan buku teks tidak lebih kecil daripada prestasi birokratis.
 
Keempat, sulit sekali menumbuhkan kreativitas di kalangan mahasiswa. Kultur akademik di SMA yaitu sikap pasif dan menunggu masih terbawa ke bangku kuliah. Mahasiswa nantinya akan serius mempelajari suatu topik kalau diberitahu bahwa topik itu akan jadi bahan ujian. Dalam perkuliahan sulit ditemukan adanya dialog cerdas dan interaktif. Idealnya perkuliahan terjadi dalam kelas-kelas kecil, sehingga setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk berpartisipasi secara cerdas. Di sanalah tradisi ditantang, kejumudan atau kebekuan dihalau, gagasan diuji, kepercayaan diperdebatkan secara ilmiah, dan kreativitas ditumbuhkan.
 
Kelima, perguruan tinggi diciptakan seperti menara gading bukannya seperti laboratorium kehidupan. Banyak orang tua masih melihat ke(pasca)sarjanaan sebagai symbol status social. Perguruan tinggi seakan mengisolasi diri, sehingga apa yang terjadi di ruang kuliah sedikit kaitannya dengan dunia di luar kampus. Bagaimana agar kegiatan di luar kampus mendukung visi dan misi perguruan tinggi. Bagaimana mengatasi ketegangan antara kebebasan mahasiswa di kampus dengan kewenangan lembaga. Dan juga bagaimana agar perguruan tinggi memberikan kesempatan munculnya kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di kampus. Intinya dalam era globalisasi seperti ini adalah bagaimana perguruan tinggi menyiapkan mahasiswa agar siap bertahan hidup dalam kompetisi global.
Keenam, perihal evaluasi hasil pendidikan. Prestasi akademik mahasiswa sangat tergantung pada dosen per mata kuliah. Nilai akhir atau IPK dalam rentang 1,00 sampai 4,00 adalah ukuran keterdidikan manusia. Bila pendidikan dimaknai sebagai upaya membentuk sarjana sebagai manusia seutuhnya, maka persoalannya adalah bagaimanakah kualitas kemanusiaan yang begitu kompleks disederhanakan dengan sebuah IPK. Sementara itu, tidak semua dosen adalah penilai yang baik. Tampaknya, dalam menentukan IPK perlu dikembangkan berbagai format penilaian yang tidak hanya mengukur potensi intelektual, tetapi juga potensi non-intelektual seperti yang diniati oleh perkuliahan pengetahuan budaya.

Selanjutnya, dalam kompetisi global ini, gagasan jaminan mutu atau quality assurance memang mutlak harus ada agar melalui uji mutu secara berkesinambung kepercayaan publik semakin tinggi. Dalam persaingan ini Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) ada di garis depan. LPMP menjadi niscaya bagi perguruan tinggi karena di sana ada dana publik yang ditarik dari masyarakat melalui SPP dan dialirkan melalui APBN. LPMP adalah bukti komitmen perguruan tinggi dalam menjaga amanat orang tua dan pemerintah. Melalui LPMP publik dapat menilai peringkat perguruan tinggi relatif terhadap perguruan tinggi lainnya. Mutu pendidikan dianggap baik bukanlah bila perkuliahan berjalan lancar, tidak ada gejolak di kalangan dosen, subsidi pemerintah jalan terus, dan pemimpin terpilih kembali. Semua ini bukanlah indikator mutu, tetapi sekedar indikator manajemen perguruan tinggi nasional yang belum tentu menjamin perbaikan kualitas pendidikan. Penjaminan mutu adalah kegiatan sistematis melalui monitoring, inspeksi, pengetesan, kaji ulang, pengecekan, penyesuaian, dan coba ulang.
 
Kebanyakan perguruan tinggi di negeri ini menganggap jaminan mutu itu sebagai mekanisme yang pengawasan mutu dilakukan oleh pimpinan dari rektor sampai ketua program studi atau jurusan. Dalam prakteknya mereka lebih berperan sebagai kelompok administrator eksekutif yang kurang memiliki kultur evaluative. Setahun sekali mereka dimonitoring tim inspektorat, namun monitoring ini lebih berfokus pada formalitas administratif bukan pada kualitas. Demikianlah kultur manajemen akademik bangsa kita ini, jadi wajarlah jika perguruan tinggi di negeri kita belumlah sejajar dengan perguruan tinggi papan atas Asia apalagi dunia.
 
Kualitas memang menjadi mantera ampuh dalam mengelolah perguruan tinggi menuju kelas dunia. Revitalisasi peran LPMP menjadi hal yang mutlak untuk kembali dibicarakan dan dilakukan. Antara lain dengan menggerakan LPMP untuk; (1) menentukan kualitas yang mesti dicapai dalam segala kegiatan, (2) menentukan prosedur kerja atau tertib kegiatan untuk mencapai kualitas itu, (3) melakukan uji standar mutu ke perguruan tinggi dalam dan luar negeri, dan (4) berperan sebagai mitra dalam memberikan saran perbaikan bagi pimpinan perguruan tinggi dari hulu sampai hilir.
LPMP berfokus pada kualitas, sedangkan monitoring aspek administrasi (efisiensi manajemen pembiayaan) kegiatan diserahkan kepada tim audit internal. LPMP lebih berorientasi pada perbaikan kualitas yang sinambung sedangkan tim audit internal lebih berfokus pada akuntabilitas publik, yakni upaya meyakinkan stakeholders bahwa perguruan tinggi memberikan layanan yang berkualitas.
Akhirnya, demi percepatan perbaikan, jajaran pimpinan dari rektor sampai pimpinan program studi dan segala unit yang ada mesti menempatkan ‘kualitas’ sebagai strategi institusional. Semua personel di kampus kita ini dicuci otak sehingga bibir dan hatinya bukan saja berbisik ‘kerja’ ‘kerja’ ‘kerja’ tetapi juga ‘kualitas’ ‘kualitas’ dan ‘kualitas’. 


*beberapa ide dalam tulisan ini disadur dari buku 'pokoknya BHMN' A. Chaedar Alwasilah

Sabtu, 17 Oktober 2015

17.34 - No comments

Merajut Benang Merah atas Permasalahan Papua dalam Bingkai NKRI

Sangatlah menarik jika membahas tentang Papua dalam konteks NKRI. Alasan yang paling mendasar adalah selain wilayah yang terkenal dengang kekayaan alamnya ini juga wilayah di ujung timur Indonesia ini tidak sepi dengan issu—issu kekerasan bahkan konflik antarsuku dan agama (SARA) .
Di sisi lain, berbicara mengenai Papua ini sangatlah riskan juga, hal ini disebabkan dua sisi yang saling bersinggungan antara dua pihak, di satu sisi menyinggung NKRI seutuhnya (baca, pusat) jika pembicaraan menggugah semangat kepapuaan dan di sisi lain menyinggung kepapuaan Papua yang dalam hal ini sedang mencari jati dirinya sebagai masyarakat dan wilayah NKRI yang sama dengan masyarakt dan wilayah lainya di Indonesia.
Menarik memang bila melihat Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah NKRI, sebagaimana ditegaskan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 bahwa Negara-bangsa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda.
Wilayah Indonesia yang dimaksud terdiri dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, NTB, NTT, dan Maluku. Pada waktu itu Papua merupakan bagian dari provinsi Maluku.
Papua memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai dengan masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya, perkembangan nasionalisme Indonesia di provinsi ini berbeda corak. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada tahun 1925 dan nasionalisme Indonesia pada tahun 1945 di bumi Papua. (Bernarda Meteray, 2012 hal 11)

Menurut Audrey kahin (1985), akibat dari batasan wilayah Negara Indonesia yang didasarkan pada bekas wilayah Hindia Belanda, sering dibuat generalisasi yang dibuat berdasarkan tingkat revolusi sejarah nasional dan sejumlah pengalaman pemimpin Republik Indonesia di pusat pemerintahan yang menciptakan ketidakseimbangan gambaran tentang pengalaman revolusi. Menurut dia, generalisasi yang sering dilakukan para sarjana tidak dapat diterapkan untuk seluruh Indonesia.
Memang, harus diakui bahwa Indonesia merupakan satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, tetapi harus juga diakui adanya pendapat bahwa bangktinya nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.

Sebagai konsekuensi dari hasil KMB yang berlangsung pada 27 Desember 1949, Papua akan diserahkan kepada pemerintahan Indonesia setahun sesudah konferensi melalui negosiasi. Dengan demikian, penyerahan kedaulatan mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda tanpa Papua.

Tidak ada itikad dari Belanda untuk menyerahkan Papua ketangan pemerintahan Indonesia. Justru sebaliknya, Belanda berupaya untuk menghalangi dukungan rakyat di Papua kepada pemerintahan Indonesia, sejak 1950 Belanda menindak tegas kegiatan yang dilakukan rakyat, baik yang asli Papua maupun non-Papua dengan menangkap dan menahan para aktivis pro-Indonesia. (hal 163)

Selama periode 1945 – 1962 Indonesia tidak memiliki wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua secara terbuka. dapat dikatakan proses pengindonesiaan orang Papua yang dilakukan tidak tuntas, baru tahap awal, dan tidak menjangkau sebagian besar masyarakat Papua di pedalaman.

Sebaliknya, berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Papua sangat hati-hati dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Papua/Nieuw Guinea sesuai dengan permintaan dan kebutuhan orang-orang Papua.
Katakanlah bahwa ini suatu bentuk “Etis-Politik Gaya Baru”. Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk “Nasionalisme Papua”. Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.

Sampai di sinilah masyarakat Papua terbelah menjadi dua: yang pro-Indonesia dan Belanda. Babak selanjutnya adalah “perebutan” Papua oleh Indonesia dan Belanda yang berakhir secara resmi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menggambarkan sebagian besar masyarakat Papua ingin berintegrasi dengan Indonesia

Kompleksitas perdebatan status politik integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia hingga kini menjadi perdebatan tanpa henti. Rakyat papua beranggapan proses integrasi dan Pepera 1969 menjadi salah satu contoh bagaimana “manipulasi” sejarah Indonesia merebut tanah Papua. Klaim yang berdasar pada legitimasi hukum PBB yang mengesahkan Pepera 1969 dan menyatakan Papua bergabung ke Indonesia seakan berbeda dengan rakyat Papua dan beberapa klaim penelitian yang menyebutkan bahwa Pepera 1969 hanyalah rekayasa

Walaupun hasil Pepera menunjukan bahwa Papua merupakan bagian yang sah dari wilayah NKRI, masalah Papua masih terus bergolak hingga dewasa ini. Munculnya keraguan terhadap hasil Pepera 1969 pada sebagian masyarakat di Papua mungkin dikaitkan dengan pernyataan Amir Mahmud sekembalinya dari peninjauan Pepera 1969, bahwa sebagian besar rakyat Papua belum sadar politik, maka penduduknya cukup menyebut “Soeharto, Merah Putih, dan Indonesia“. Dia juga menegaskan, “kenyataan menunjukan bahwa sebagian terbesar dari penduduk tidak bersimpati kepada RI”.
“tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrate Sofyan Yoman. Pernytataan ini memiliki dasar yang kuat sehingga sulit untuk disangga.

Kini nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia masih sebuah dilematis bagi rakyat Papua. IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) adalah persoalan pengindonesian rakyat Papua yang tidak pernah tertuntaskan sampai sekarang sehingga dilema yang terjadi bukan lagi “ikut RI” atau “ikut Nederland” tetapi sudah pada mencari pilihan lain yaitu hak menentukan nasib sendiri alias MERDEKA.

Masalah Papua tak juga kunjung selesai sampai sekarang. Belakangan, berbagai peristiwa penembakan terhadap warga dan aparat sering kali terjadi. Keamanan dan stabilitas di Papua belum juga tercipta. Pendekatan militer yang ditempuh pemerintah Indonesia rupanya justru makin meningkatkan militansi dan perlawanan kaum separatis seperti yang dulu dicurigai sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, ketika pendekatan ini perlahan-lahan diubah dengan memberi Papua otonomi khusus, ternyata masalah juga tak kunjung selesai. Mengapa Papua terus bergolak?

Bisa disimpulkan bahwa Nasionalisme Papua terkonstruksi ole beberapa factor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite papua yang mersakan persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timbang dan semakin menunjukan perasaan berbeda. Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan termaginalisasi orang Papua di daerah sendiri (chauvel 2005; Widjojo dkk 2009:9)
Daripada terjebak pada interpretasi yang bertentangan terus menerus sepertia yang dialami sekarang ini, seharusnya kedua belah pihak dimungkinkan untuk menyetujui atau menyepakati elemen-elemen sejarah tertentu sebagai kebenaran yang diterima bersama. Jika itu dilakukan maka akan terbuka kemungkinan kesalahan-kesalahan pada masa lalu diperbaiki dan kekecewaan-kekecewaan yang sudah berlangsung lama dapat ditangani.
Secara khusus, pemerintah seharusnya bersiap-siap untuk mengakui memoria pasionnis orang Papua dan menyampaikan permohonan maaf kolektif secara bermartabat atas kesalahan dan penderitaan pada masa lalu, seperti pernah dilakukan untuk Timor Timur dan Aceh. Pemerintah seharusnya memeriksa kembali kejadian-kejadian di seputar pepera 1969 dan percaya diri dalam melakukan hal itu, tanpa dihantui ketakutan bahwa kedaulatan Indonesia atas Papua akan terganggu.

Menutup materi diskusi ini saya mengutip buku Meracik Wacana, Melacak Indonesia. Hasyim Wahid, dkk tentang What’s Next? Globalisasi:
"Globalisasi telah melanda Indonesia bagai air bah. Sekarang pilihannya adalah kita mau berenang atau tenggelam. Jika kita tidak memiliki kesadaran akan masa lalu, maka pengetahuann up to date untuk masa sekarang juga tidak ada.

Kita juga mesti memiliki kesadaran akan fakta sejarah mengenai terjadinya gelombang pembuangan sampah peradaban Eropa. Gelombang 1 pembuangan sampah peradaban ini ke ke benua Amerika telah mengakibatkan musnahnya jutaan suku Indian, penduduk asli Amerika yang telah memiliki peradaban tinggi. Kemudian gelombang 2 pembuangan sampah peradaban ke Asutralia telah menimbulkan pemusanahan pada suku Aborigin.
Dari fakta ini kita mesti menyadari bahwa mungkin saja mereka akan melakukan pembuangan sampah peradaban gelombang 3. Bisa saja Irian Jaya (Papua) dan Papua Nugini dimerger lalu dijadikan tempat pembuangan berikutnya, toh korbannya paling cuma 6 juta orang Papua saja.

Melihat hal ini, pemerintah Indonesia harus waspada atas setiap isu yang ada tentang Papua. Masyarakat Papua juga harus bisa bersikap dewasa. Jangan karena rezim Orba berbuat salah, kemudian kecewa dan melawan pemerintah NKRI. Karena bagaimanapun kekecewaan itu sangat rentan untuk ditunggangi oleh Barat agar Papua bisa pisah dari NKRI. Rakyat Timor-Timur yang kini menyesal setelah menjadi Timur Leste perlu menjadi pelajaran bagi orang Papua. Bahwa lepas dari NKRI bukanlah pilihan yang tepat. Jika orang Papua masih tetap ngotot merdeka, maka tunggulah saatnya mereka sebagai etnis akan lenyap bagaikan suku Indian dan Aborigin".

*Tulisan ini telah dimuat terlebih dahulu dengan judul yang sama pada theglobal-review.com.

17.28 - No comments

MASA DEPAN SULUT DI PASIFIC

Sarundajang berharap WOC akan menjadi momentum penting penyelamatan ekosistem global melalui itikad baik setiap negara dan pihak di seluruh belahan dunia untuk membuka diri membangun komitmen yang akan termuat dalam Manado Ocean Declaration. WOC pada gilirannya membangun hegemoni Indonesia di bidang diplomasi, karena berbagai capaian gemilang yang berhasil ditoreh menyangkut masa depan Global. Umbas (2009:11).

Amerika Serikat memandang WOC sebagai sebuah arena penting untuk menjawab persoalan global di bidang laut dan lingkungan. "WOC memberi kesempatan kepada seluruh dunia untuk bersatu dalam suatu kekhawatiran yang sama dan saya mendorong anda semua untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya" ujar Hillary (MenLu AS).
Selain itu, Hillary juga menegaskan tentang keterkaitan sistem kelautan dengan perubahan iklim global. langkah-langkah internasional menurut Hillary sangat diperlukan untuk menemukan solusi ilmiah atas berbagai masalah yang dihadapi.AS memang menjadi negara pendukung CTI, dan meberi perhatian serius terhadap masalah perlindungan wilayah pesisir dan kelautan di Indonesia. Umbas (2009:12)
Amerika memang cukup memberi perhatian pada penyelenggaraan WOC dan CTI Summit. sebab, sejak ide ini digulirkan negara adidaya ini memberi apresiasi yang juga terkait dengan berbagai proyek penelitian dan keilmuan mereka di Indonesa. "ini untuk menunjukan kapasitas kami dalam bidang kebijakan dan ilmu pengetahuan." kata Richard Spinrad, Asisten Administrator untuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric Research). Umbas (2009:14)
Dari beberapa kutipan buku SULUT MENDUNIA di atas sangat jelas begitu besar kepentingan AS didalamnya. Secara geopolitik penempatan hajatan besar ini di Manado bukanlah tidak memiliki alasan kuat bagi negara sekelas AS. sekali tepuk dua lalat, mungkin cocok untuk hasil yang diperoleh AS dari hajatan ini. pertama, kita telah menelan dengan menta dan memuluskan sekaligus mendukung baik issu perubahan iklim dan pemanasan global yang digemborkan AS di kawasan Asia Tenggara. kedua, AS merebut Utara Indonesia sebagai perluasan wilayah kekuasaan untuk kepentingannya di Pasifik (sengketa wilayah Laut Cina Selatan).
Menyangkut masalah perubahan iklim dan pemanasan global, Vaclav Klaus dalam pengantar untuk edisi bahasa Indonesia pada buku "Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim" menyangkan masih ada sejumlah besar politisi dan tokoh masyarakat yang tidak ragu-ragu dalam mempromosikan doktrin pemanasan global yang tidak jelas ini dengan dalih "untuk kepentingan orang banyak" dan 'untuk menyelamatkan dunia". Doktrin ini tidak hanya mengancam kebebasan individu, tetapi juga merupakan intervensi ekonomi yang luar biasa besar dalam bentuk peraturan dan subsidi yang tidak masuk akal. Berkat dorongan politik dan konotasi penyelamatannya, hal ini telah menjadi bisnis menguntungkan sekaligus instrumen inovasi politik kaum intelektual sosialis dan kiri dalam perjuangan mereka menentang kebebasan pasar dan kapitalisme.
Terkait kepentingan AS di pasifik dan letak strategis Sulut di Bibir Pasifik yang secara keseluruhan dalam kepentingan RI telah diurai oleh Dr. Sam Ratulangi dalam bukunya Indonesia in den Pacific. Takdir inilah yang menyeret Sulut dalam pusaran perebutan kekuasaan negara yang berkepentingan besar di pasifik seperti AS dan Tiongkok. Dalam pusaran kepentingan dua negara besar ini, Sulut sudah seharusnya waspada terhadap skema penggiringan wilayah ini menjadi zona proxi war antara dua negara ini.
Secara geopolitik perebutan Sulawesi Utara antara AS dan Tiongkok bukanlah sesuatu yang terselubung lagi karena Tiongkok juga telah menancapkan cengkramannya di wilayah ini dengan memanfaatkan kota Bitung dalam program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Alhasil, dua negara yang berkepentingan besar di pasifik ini telah menggenggam Sulut; AS di Manado dengan WOCnya dan Tiongkok dengan KEKnya di Bitung. Hal ini juga sejalan dengan amatan dan kajian Hendrajit dan M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute dalam tulisan “Takdir Geopolitik Indonesia di Tengah Pertarungan Global AS-Cina di Asia Pasifik” dan “Manado-Bitung Sasaran Proxy War AS-Cina Sejak 1998
Dengan tulisan yang masih jauh dari kesempurnaan ini semoga kita bisa mengambil hal positif sehingga bisa belajar dari apa yang telah terjadi di Ukraina dan Yaman, dan NYIUR SEMAKIN MELAMBAI DI INDONESIA BAHKAN DUNIA.

*tulisan ini juga dimuat lebih dahulu di theglobal-review.com dengan judul "Membayangkan Masa Depan Sulut dalam Kiprah Global".

17.18 - No comments

TRADISI UNTUK ANAK BAYI DI SANGIHE SIAU

MULUANG GAHI
muluang gahi adalah salah satu kearifan lokal yang masih hidup di Siau, kampung Laghaeng dan beberapa kampung lainnya masih menjaga dengan baik kearifan ini hingga saat ini.
Muluang gahi dilakukan oleh orang tua kepada anaknya jika keturunan atau anak mereka persis mukanya (Gahi) dengan salah satu orang tua. Dipercaya jika anak yang lahir persis mukanya dengan ayah atau ibunya itu akan sering sakit-sakitan dan tidak akan berumur panjang. Untuk menghilangkan, mengobati atau mencegah hal yang buruk ini terjadi maka orang tua yang persis mukanya dari anak tersebut harus 'MEMBELI MUKA (RAUT WAJAH)' anaknya tersebut, dalam bahasa lokal inilah yang disebut dengan tradisi 'MULUANG GAHI'. Uang hasil membeli itu dimasukan ke kas Gereja. Demikian tradisi ini dilakukan dan terjaga hinga sekarang.

MANGAUNG HIWA

Mangaung Hiwa termasuk tradisi atau kearifan lokal Sangihe Siau yang masih terjaga hingga sekarang ini. Hampir semua wilayah masih mempertahankan kearifan lokal ini. Mangaung hiwa dilakukan pada saat orang tua merasah bahwa anak mereka sering sakit-sakitan karena ulah atau kesalahan mereka. Mereka merasakan pangkuan mereka tidak hangat lagi bagi si anak maka perlu pangkuan yang lebih adem demi kelanjutan pertumbuhan sang anak baik fisik maupun mental spiritual. Maka dicarilah orang tua tersebut untuk dilakukan prosesi melepas pangkuan atau mengangkat anak dari pangkuan yang tidak hangat (orang tua kandung) ke pangkuan yang lebih adem (orang tua yang sudah ditentukan/dipilih). Jadi sederhananya proses ini seperti mengangkat dan meletakan kembali ke pangkuan yang lain dalam bahasa lokal disebutlah MANGAUNG HIWA.
Prosesi mangaung hiwa: biasanya telah dihadiri oleh beberapa kerabat terdekat ada juga yang sengaja di'note' (undang).
Orang tua melakukan sembahyang secara pribadi sebelumnya dihadapan piring yang berisi air juga daun tawaan (dakalung tawaang) dan dakalu kalu haghi, daun ini umumnya dipakai untuk batas tanah (pusarang). Ini dijadikan sebagai penyejuk (TATAHULENDING) dengan cara mengibaskan atau memancarkan air tersebut ke beberapa bagian rumah dengan manggunakan dakalung tawaang atau kalu haghi tadi.
Selanjutnya kedua pasangan orang tua duduk berhadapan, orang tua kandung yang sementara memangku anaknya dan bersiap menyerahkan, mengucapkan doa dan harapan:
'' i kami dua singkawingang mupupendang sulralrung pudalrahiking i kami dua maulri salrane. Su salra ii aramanungu nakoa lrawe su ana ii, haki u tatuwone masau sahindakeng. Nau ipupendang hiwa i kami dua ko seng mateti. Nau su orase ii iaung, ionggo su hiwa malralrending''
kemudian menyerahkan anak kepada orang tua yang dipilih tadi.
Orang tua yang menerima mengucapkan doa dan syukur
''su tengong komolrang ko mawantuge nangilembong su tengong Mawu Ruata makoa kere sahiding su orase ii, i kami dua singkawingang dingang naung malruase manarima ana ii, i hiking kere ana i kami dua tutune. Mawu Mangalramate''.
Air yang ada di piring tadi kemudian dibasuh ke raut muka si anak sebagai bentuk hiwa telah niaung. Biasanya akhir-akhir ini, prosesi ini dilanjutkan dengan ibadah syukur.
Demikian tradisi ini dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi.

MUNDEME ANA
dari penyebutannya kearifan lokal ini kedengeran negatif karena mundeme ana terjemahan harfianya adalah ‘membuang anak’. Tapi tidaklah demikian adanya. Tradisi mundeme ana ini dilakukan penyebabnya hampir sama dengan tradisi 'muluang gahi' dan 'mengaung hiwa' yang ditulis sebelumnya. Yang membedakan hanyala pada prosesi. Pada mundeme ana ini, prosesinya dilakukan dengan meletakan anak di tengah jalan menuju rumah orang tua, anak diletakan di atas 'kalrekube' (pelepa daun pinang) kemudian orang tua target untuk anak yang dibuang ini berjalan dan memungut anak ini (seolaholah) menemukannya. Kemudian sesampai dirumah orang tua anak tersebut, orang tua yang menemukan itu mengumumkan kabar gembira ini ke orang banyak yang sudah hadir (di note) saat itu. Biasanya ditutup dengan ibadah syukuran keluarga.
Dari 3 prosesi kearifan lokal ini (muluang gahi, mangaung hiwa, mundeme ana) biasanya selalu diakhiri dengan menanam pohon untuk si anak ini sebagai pertanda kehidupan. Pohon yang ditanam umumnya adalah pohon kelapa, karena pohon kelapa hampir seluruhnya bisa digunakan (akar hingga daunya) serba guna. Harapan anak bisa bertumbuh dan berguna untuk orang banyak.
Demikian kearifan lokal untuk anak-anak bayi yang masih hidup di tanah karangetang Siau.

17.07 - 1 comment

MENEMUKAN NASIONALISME DALAM BAHASA INDONESIA

Soekarno tiba-tiba meloncat ke atas meja dan berkata keras; “Tidak. Saya tidak setuju! Tanah kebanggaan kita ini dulu pernah bernama Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti di antara. Nusantara berarti ribuan pulau-pulau, dan banyak di antara pulau-pulau ini yang lebih besar daripada seluruh negeri Belanda. Jumlah penduduk negeri Belanda hanya segelintir jika dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipergunakan oleh enam juta manusia. Mengapa suatu negeri kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasi suatu bangsa yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga dapat mengalahkan Kublai Khan yang kuat itu? Saya berpendapat, bahwa yang pertama-tama harus kita kuasi adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang menjadi bahasa diplomatik. Belanda berkulit putih. Kita sawomatang. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam. Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?!

Penggalan sejarah yang heroik di atas mengilhami tulisan sederhana yang tidak ilmiah ini, jika ada kekurangan dan perbedaan pendapat harap maklum.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa persatuan, bahasa IPTEK dan seni, dan sebagai bahasa dalam pembangunan telah menenmpatkan posisinya sebagai suatu kebanggan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebaga bahasa negara, bahasa Indonesia dinyatakan kedudukanya pada 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang didalamnya menyebutkan bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia sudah jelas sebagai pemersatu suku bangsa yang beraneka ragam yang ada di Indonesia. Bahas Indonesia juga mampu mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pendidikan, pengembangan ilmu, teknologi, serta seni. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan dan penyampaian ilmu pengetahuan kepada semua kalangan dan tingkat pendidikan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia kurang diminati atau disoroti sebagai bagian yang perlu diangkat ketika pembahasan kita merujuk pada nasionalisme dan bela negara, padahal bahasa itu sendiri adalah lambang kebanggan dan identitas sebuah bangsa. Mungkin kita harus resapi kembali maksud Liberty Malik dalam lirik lagu Satu Nusa Satu Bangsa; “nusa, bangsa dan bahasa, kita bela bersama”. Disinilah puncak nasionalisme seorang Liberty Malik ketika menyertakan pentingnya bahasa di tengah kepentingan NKRI secara wilayah geografi (nusa) dan kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri (bangsa). Pentingnya bahasa dimata Malik jika dipandang dari sudut pandang global akan tersirat ungkapan ‘bahasa menunjukkan kedudukan’.

Permasalahan bahasa Indonesia di negeri sangatlah kompleks. Hal ini senada dengan Hasan Alwi (2011) dalam tulisannya Politik Bahasa Nasional menegaskan bahwa masalah kebahasaan Indonesia memperlihatkan ciri yang sangat kompleks. Hal itu berkaitan dengan tiga aspek, yaitu menyangkut bahasa, pemakai bahasa, dan pemakaian bahasa. Aspek bahasa menyangkut bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Aspek pemakai bahasa terutama berkaitan dengan mutu dang keterampilan berbahasa seseorang. Dalam perilaku berbahasa tidak saja terlihat mutu dan keterampilan berbahasa, tetapi juga sekaligus dapat diamati apa yang sering disebut sebagai sikap pemakai bahasa terhadap bahasa yang digunakannya. Adapun aspek pemakaian bahasa mengacu pada bidang-bidang kehidupan yang merupakan ranah pemakaian bahasa. Pengaturan masalah kebahasaan yang kompleks itu perlu didasarkan pada kehendak politik yang mantap.

Pergulatan tentang bahasa ini memang sudah mendapat perhatian dari pemerhati bahasa sejak seminar 1975 yang menghasilkan Politik Bahasa Nasional setakat Kebijakan Bahasa Nasional hasil seminar 1999 juga risalah kongres bahasa Indonesia VIII semuanya sama-sama membahas dan merumuskan berbagai masalah kebahasaan di Indonesia yang perlu ditangani. Hal ini berbuah pada Undang-Undang republik Indonesia No 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

Meskipun rumusan tentang kebijakan dan perencanaan bahasa telah ada, namun dalam realita berbangsa penggunaan bahasa Indonesia masih jauh dari harapan. Pemasalahan muncul bisa diyakini karena ketidakpercayaan diri bangsa kita dalam menggunakan bahasa Indonesia. Mental inlander terus menghantui bangsa ini sehingga bahasa sendiri dirasa kurang berbobot dibanding bahasa asing. Bangsa Indonesia sekarang ini kurang menghargai bahasa Indonesia, buktinya banyak tempat, nama sekolah, nama bangunan dll menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing. Sangat sedih melihat ini, karena pendiri bangsa ini sudah berjuang untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, identitas bangsa, kebanggaan bangsa namun lebih disayangkan juga banyak para pejabat menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur bahasa Inggris dan bahasa asing. Bahasa asing dan bahasa Inggris dirasa lebih intelek daripada bahasa Indonesia itu sendiri. Ini penjajahan gaya baru pada bangsa kita yang tidak kita sadari dan dianggap hal biasa-biasa saja. Mari kita sebut ini sebagai penjajahan bahasa.

Waktu terus berputar, perubahan zaman senantiasa terjadi terlebih di era globalisasi abad ke -21 ini. Perkembangan dan kemajuan pada bidang teknologi dan informasi secara langsung akan mempengaruhi semua lini kehidupan dan ini sudah tentu berdampak pula pada keberlangsungan kehidupan kebahasaan di Indonesia. Hal ini merupakan tantangan yang baru dan besar bagi bahasa Indonesia. Kita tidak bisa mungkir bahwa dalam peningkatan interaksi global memerlukan bahasa sebagai alat berkomunikasi dan bahasa asing menjadi satu modal utama keunggulan kompetetif. Bahasa asing menjadi lebih penting dan menjadi ciri SDM yang berkualitas. Di sini kita melihat letak pemakai bahasa berperan penting menempatkan posisinya dalam berbahasa. Kapan, dimana, dan bagaimana kita berbahasa yang baik tanpa menyepelehkan Identitas diri kita sebagai satu bangsa yang memiliki bahasa sendiri.

Sangatlah rumit menempatkan bahasa Indonesia di tengah gempuran bahasa asing dan di sisi lain ada pelestarian bahasa daerah. Chaedar Alwasilah (2012) mengemukakan, globalisasi, di satu pihak, memunculkan hegemoni dan imperialisme bahasa sehingga kita ditantang untuk beraksara dalam bahasa nasional dan asing. Di pihak lain, di kota-kota kecil globalisasi juga memunculkan kecenderungan monolingualisme, yakni kebiasaan beraksara dalam bahasa Indonesia dan meninggalkan bahasa daerah. Untuk mengimbangi globalisasi ini, bangsa Indonesia harus memiliki strategi sendiri, strategi kebudayaan, antara lain dengan mengandalkan dan memberdayakan kearifan lokal, termasuk pemberdayaan dan revitalisasi bahasa daerah. Ketahanan budaya dalam strategi kebudayaan harus berpangkal pada pemikiran budaya yang menimbulkan rasa bangga.

Kekaguman yang sangat berlebihan terhadap bahasa asing merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi bangsa ini. Dampak globalisasi sangat besar sehingga bangsa Indonesia seolah tidak berdaya jika tidak menguasai bahasa asing dan bahasa Inggris. Pelemahan dari segi opini bahwa bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah tidak mampu dan tidak siap bersaing dengan bahasa asing dan Inggris semakin memperparah kondisi bahasa kita. Dalam pengamatannya terhadap terhadap prilaku berbahasa, khususnya para diplomat Indonesia di luar negeri, Ajip Rosidi yang dikutip dalam Alwasilah (2012) mengatakan bahwa bahasa negara kita “direndahkan dan dihina di tanah air kita sendiri dan juga diperwakilan-perwakilan kita di negeri orang oleh orang kita sendiri tanpa ada yang membelanya”. Miskinnya panutan berbahasa yang baik dari pemimpin bangsa dan kaum intelektual berimbas pada tidak bangkitnya mental inlander dalam berbahasa bangsa ini. Di sini bisa dilihat bahwa ancaman penjajahan bahasa indonesia ini bukanlah bahasa Inggris atau bahasa asing melainkan bangsa Indonesia sendiri yang kurang percaya diri dengan bahasa Indonesia.

Di lembaga pendidikan, pendidkan bahasa Indonesia menjadi musuh besar bagi kalangan siswa dan mahasiswa. Menurut Chaedar Alwasilah (2012) Ini dikarenakan praktik pengajaran bahasa yang tidak inovatif dan tidak kreatif. Lanjutnya, rendahnya kemampuan menulis akademik para lulusan universitas menunjukan lemahnya literasi bangsa sebagai bukti gagalnya pengajaran di tingkat sekolah dasar sampai dengan universitas. Dalam hal menulis, Alwasilah (2005) mengungkapkan bahwa belajar menulis itu seperti belajar kungfu, seyogianya berguru kepada “sang jagoan” yang dibuktikan dengan karya-karyanya yang telah dipublikasikan. Publikasi itu juga penting dipajang untuk menanamkan kepercayaang para murid akan kepakaran sang suhu. Dosen-dosen yang berkhotbah ihwal menulis tanpa unjuk publikasi akan sulit mendapat kepercayaan muridnya. Mungkin ini salah satu penyebab saat ini jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secarah keseluruhan masih lebih rendah dibandingkan dengan malaysia. Wajar jika Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai orang pertama yang bertanggung jawab ini marah atau jengkel karena lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Chaedar alwasilah dalam tulisanya (Bukan) Bangsa Penulis. 2012.

Dari sorotan lembaga pendidikan selanjutnya kita melihat bahasa dalam media, baik surat kabar, radio, dan televisi. Mengutip beberapa pendapat Djafar Assegaf dalam tulisannya “bahasa koran, radio, dan televisi perlu pembenahan menyeluruh” mengatakan, secara terus terang bahwa media massa, yakni surat kabar, radio dan televisi tidak berkembang lebih bagus dalam penggunaan bahasa, malah sebaliknya bahasa pers, radio dan televisi mengalami penurunan dalam mutu penggunaan bahasa Indonesia yang baku. Bahasa media massa sudah menjadi “bahasa gado-gado” karena begitu banyaknya masuk istilah-istilah bahasa asing terutama Inggris yang sudah ada padananya dalam bahasa Indonesia tapi tidak dipakai. Akibatnya, masyarakat intelektual dan pemimpin kita berbahasa dalam bahasa gado-gado, tak ubahnya dengan bangsa dalam peradaban meztizo yang lebih bangga karena bahasanya bercampur dengan bahasa asing.

Kondisi masyarakat Indonesia dan hubunganya dalam kreatif berbahasa ditulis baik dan jelas oleh Andar Ismail (2015), tulisnya, kita memang bangsa yang kreatif dalam urusan bahasa. Bukan kreatif menghasilkan gramatika berbahasa dengan baik dan benar. Bukan pula menghasilkan karya tulis yang bermutu. Melainkan kreatif menghasilkan idiom yang menyamarkan suap-menyuap atau sogok-menyogok alias korupsi. Jangan heran kalau mendengar idiom seperti uang rokok, uang transport, uang makan, uang persembahan, uang terima kasih, uang tinta, uang lelah, uang jalan, uang pelicin, uang kertas, uang pulsa, dan masih banyak lagi. Itulah negeri kita, suap-menyuap, sogok-menyogok alias korupsi terbungkus rapi dan bergulir terus tersamar dalam bahasa yang santun.

Menengok bahasa Indonesia dalam karya sastra, dalam mengurai kehidupan manusia, seorang penulis mengimajinasikan pikiran-pikiran atau idenya berlandaskan pada realitas kehidupan guna menyentuh secara langsung sisi kehidupan kelompok masyarakat sehingga menghasilkan karya yang memiliki nilai ajaran moral yang tinggi bagi masyarakat secara umum dan penikmat hasil karya satra secara khusus. Demikianlah sastra, dulce et utile. Namun tidak bisa dipungkiri kalau karya sastra seperti novel, cerpen banyak ditulis dengan menggunakan dialek dan bahasa gaul khas remaja yang jelas-jelas melenceng dari niatan untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karya seperti ini merajalela di pasar dan banyak diburu pembaca pemula. Hal ini berimbas pada bahasa lisan yang nantinya mereka pakai dalam presentasi formal dalam dunia pendidikan. Saatnya kita merevitalisasi karya sastra anak bangsa guna menggali jati diri, budaya dan kreativitas anak bangsa sebagai penangkal arus globalisasi yang masuk mulus di negeri ini.

Harus kita akui betapa pentingnya pemartabatan sastra nasional sebagai alat pembangunan bangsa dan negara. Sebenarnya bila dikemas dengan baik sastra Indonesia akan bisa go international dan banggalah negeri ini. Siapa yang tidak bangga penulis-penulis hebat seperti Pramoedya Ananta Toer, Habiburrahman El-Shirazi, Andrea Hirata dan beberapa lainya menjadi pembicaraan di level international.

Bagaimana di Indonesia? Apakah masyarakatnya gemar membaca, ataukah kita masih tenggelam dalam budaya “dengar dan bicara”?. Tidak perlu dipikir lebih jauh karena jika hasil tulisan bangsanya sedikit berarti bangsa itu juga malas membaca. Realitanya, kaum pelajar terlebih mahasiswa lebih gemar berburu pernik untuk gaya dan model yang lebih modern dari pada ke tokoh buku berburuh buku yang terbaru. Atau paling tidak berdalih dengan adanya google, tinggal ketik dan berselancar sudah ditemukan topik yang dicari. Janganlah heran kalau generasi saat ini adalah generasi yang menyimpan ilmunya di internet, di otak tidak apalagi perasaan dan tindakan.

Perfilman Indonesia sebagai sastra yang komplit diserbu oleh film Hollywood dan Bollywood, dan kini drama Korea meramba remaja-remaja Indonesia. Sinetron di televisi Indonesia tidak diminati karena tidak kreatif dan kebanyakan meniruh cerita dari perfilman luar negeri. Judulnya terkadang menggunakan bahasa asing meski seting dan ceritanya di Indonesia dan bahasa indonesia. Penjudulan film di bangsa ini juga kadang-kadang melenceng dari karakter budaya kita, carut-marut bahkan kedengaran aneh. Contoh, tahun di 1980-an Nafsu Gila, Nafsu Besar Tenaga Kurang, Ganasnya Nafsu, Saat Saat Kau Berbaring Di Dadaku, Gairah Yang Nakal, tahun 1990-an Ranjang Yang Ternoda, Ranjang Pemikat, Godaan Membara, Wanita Dalam Gairah, Permainan Binal, Getaran Nafsu, Gairah Yang Panas, Bisikan Nafsu, Gejolak Seksual, Puncak Kenikmatan. Judul yang aneh-aneh juga muncul kisaran tahun 2008 terutama di film-film yang berbauh horor. Seperti Hantu Jeruk Purut, Pocong, Dendam Pocong, Leak, Terowongan Casablanca, Ada Hantu Disekolah, Paku Kuntilanak, Suster Ngesot, Kutukan Suster Ngesot, Tali Pocong Perawan, Susuk Pocong, Diperkosa Setan, Rintihan Arwah Perawan, Kain Kafan Perawan dan paling aneh 2010 ada judul film Hantu Puncak Datang Bulan yang kemudian diubah menjadi Dendanm Pocong Mupeng. Jika begini, bagamiana nanti karya perfilman kita akan memupuk rasa bangga?. Karya yang kita hasilkan lebih mengejar keuntungan ekonomi bukan membangun bangsa yang terdidik dan bermartabat. Banyak penulis tertarik berkarya hanya untuk komersilal semata sedang kepentingan dan harga diri bangsa terabai.

Di sekeliling kita, banyak pemberitahuan dan pengumuman ditulis dalam bahasa asing dan bahasa Inggris. Pemberitahuan dan pengumuman yang ditulis dalam bahasa asing atau bahasa Inggris itu kurang mendukung pembangunan bangsa. Di sana kelihatan kita hanya tampil gaya tapi tidak berdaya, kelihatan dekoratif tapi tidak komunikatif. Teks-teks seperti ini tampil pongah diskriminatif terhadap mayoritas anggota masyarakat pembaca itu sendiri.

Pergulatan membela, membina dan mengembangkan bahasa Indonesia adalah pekerjaan yang besar. Kelihatan sepele sehingga terkadang hal yang salah yang sudah biasa kita lakukan kita benarkan. Memanggil tampil di depan dengan kalimat “silakan maju ke depan”, kata imbau jadi “himbau”, diubah jadi “dirubah”, dan masih banyak lagi kesalahan yang kita biasakan tapi kita anggap benar karena menganggap remeh bahasa Indonesia.

Memang tak dipungkiri juga Ejaan Yang Disempurnakan pun masih ada kekurangan. Ajip Rosidi (2010) menegaskan bahwa kalau kita teliti lebih cermat, seluruh EYD penuh dengan ketidakonsistenan. hal ini sebenarnya aneh karena EYD dipromosikan dengan payung “pembakuan bahasa”. Artinya EYD seharusnya menjadi rujukan bagi mereka yang ingin berbahasa Indonesia baku. Kalau rujukannya tidak konsisten bagaimana bisa kita menumbuhkan sesuatu yang baku?.

Bagaimana pun kondisi bahasa Indonesia saat ini kita tetap diajak untuk tidak letih mencintai bahasa Indonesia, tidak lelah membanggakan bahasa Indonesia sebagai kekayaan dan identitas bangsa kita. Agar bahasa Indonesia tidak semakin terjermbab, Anton Muliono menegaskan bahwa bahasa Indonesia akan menempati kedudukannya yang terhormat jika sumber daya manusia yang jadi penuturnya menjadikan bahasa itu bahasa yang patut dimahiri dan dikuasai. Jika sudah demikian kita akan berdiri tegak dan mendongakkan kepala kita sambil berucap “Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan BAHASA INDONESIA. Tetap tegak berdiri sambil bernyanyi;

Satu nusa
Satu bangsa
Satu bahasa kita

Tanah air
Pasti jaya
Untuk Selama-lamanya

Indonesia pusaka
Indonesia tercinta
Nusa bangsa
Dan Bahasa
Kita bela bersama

Saat itulah tanpa sadar kita telah membuat para pendahulu kita bangga, Liberty Malik hidup kembali dengan semangat nasionalismenya dan ibu Pertiwi tersenyum bahagia.

Jumat, 24 April 2015

00.11 - No comments

Bahasa Indonesia, Pendidikan Nasional, dan Kehidupan Berbangsa

Gambaran umum
Dalam situasi global regional dan nasional seperti yang kita alami saat ini masalah identitas bangsa sering menjadi salah satu topik pembicaraan.Bangsa Indonesia saat ini boleh dikatakan berada dalam situasi yang memprihatinkan.Baik karena masalah ekonomi,politik maupun sosial.Harus memberikan perhatian lebih besar terhadap masalah tersebut dengan tidak mengabaikan aspek kehidupan lainnya.
                Pemberdayaan Bahasa Indonesia, memperkokoh ketahanan budaya bangsa dalam era globalisasi.Sudah tepat kalimat ini memungkinkan kita untuk membahas, tidak hanya masalah substansi kebahasaan tetapi juga aspek-aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya, yang erat kaitannya dengan aspek kebahasaan itu.Masalah kebahasaan murni saya serahkan sepenuhnya kepada pakar bahasa untuk membahasnya, sedangkan makalah ini akan membicarakan pokok-pokok diluar substansi kebahasaan yang erat kaitanya dengan aspek pendidikan dan kehidupan berbangsa.
                Seminar bahasa Indonesia sering diselenggarakan pada zaman penjajahan dengan tujuan yang ingin dicapai pada waktu itu. Berbeda dengan seminar bahasa Indonesia berikutnya, karena yang diutamakan pada saat itu ialah menggalang kekuatan nasional untuk mencapai kemerdekaan.Seminar-seminar bahasa selanjutnya yang diselenggarakan pada zaman kemerdekaan , atau setelah kita merdeka pasti berorientasi pada hal yang lain dan diarahkan untuk tujuan yang sesuai dengan prioritas pembangunan pada masa itu.Walaupun demikian seminar bahasa Indonesia sangat diperlukan dan dilakukan untuk kemajuan dan perkembangan bahasa.

  Pendidikan
                Pendidikan Nasional saat ini mempunyai landasan yang lebih mantap, yang disahkan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional .
                Hal itu tidak berarti bahwa masalah pndidikan sudah teratasi.Kita harus bekerja keras dalam berbagai sektor pendidikan untuk memungkinkan kita mengfungsikan pendidikan nasional dengan baik agar kita dapat mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut. Pada bab 2 pasal 3, yang berbunyi : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak , serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan keidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, akan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab .
                Dari rumusan itu jelas tampak betapa rumitnya persoalan yang kita hadapi.Segala dana dan daya perlu kita arahkan agar tujuan tersebut dapat tercapai.Anggaran pendidikan yang banyak dipertanyakan oleh masyarakat sedikit banyak telah terjawab dengan adanya ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 yang sudah diamandemankan, pasal 31, ayat 4 yang berbunyi ‘’ Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan anggaran pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional’’ .Walaupun demikian, hal itu tidak menjamin bahwa tujuan pendidikan nasional dapat tercapai dengan mudah karena sarana utama yang diperlukan untuk menanamkan kesadaran, pengertian, dan pemahaman tujuan pendidikan nasional itu bukanlah semata-mata dana.Disini bahasa Indonesia dapat berperan sebagai sarana utama untuk melancarkan tercapainya tujuan tersebut, dalam arti bahwa semua pihak mulai dari pengelolah pendidikan sampai dengan masyarakat luas perlu berkomunikasi secara aktif dan efektif agar dapat bersinergi dalam menggalang kebersamaan untuk mencapai tujuan itu. Dengan kata lain penguasaan bahasa yang baik  sangat diperlukan oleh para pengelolah dan pelaksana pendidikan, peserta didik, orang tua, dan warga masyarakat umumnya sebagai modal utama untuk meningkatkan mutu pendidikan .
                Pendidikan nasional saat ini memperkenalkan dan memasyarakkan orientasi ‘’baru’’ yang disebut dengan keterampilan hidup (life skill) yang didalamnya juga terdapat kompetensi berkomunikasi.Dengan demikian, orientasi ini sejalan dengan harapan kita tadi agar kita semua mahir berbahasa Indonesia.Dalam hubungan ini, Departemen Pendidikan Nasional melalui pusat bahasa sedang mengembangkan sarana pengujian yang disebut Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI).

Pengajaran Bahasa Indonesia                    
                Selama ini pengajaran bahasa Indonesia pada hampir semua jenis dan jenjang pendidikan selalu mendapat sebutan mata pelajaran yang membosankan, menakutkan, gersang, terlalu teoritis dan sebagainya.Singkatnya pengajaran bahasa Indonesia tidak atau kurang diminati  peserta didik.Kongres Bahasa Indonesia VII diharapkan dapat  memberikan jalan keluar atau sekurang-kurangnya saran untuk mengubah citra buruk tersebut menjadi sesuatu yang mempesona.Oleh karena itu, jadikanlah pengajaran bahasa Indonesia itu sesuatu yang sangat  menarik, menyenangkan, bermanfaat , dan mencerdaskan .
                Perlu segera saya tambahkan bahwa setiap kali saya menggunakan kata bahasa Indonesia, termasuk  pengajarannya, kecuali konteks bahasanya, harus diartikan sebagai bahasa dan sastra karena bahasa dan sastra itu ibarat dua sisi mata uang yang berguna.Jika hanya ada satu saja, uang itu bukanlah mata uang yang berguna.Jadi, pengajaran bahasa Indonesia harus seiring dan sejalan  dengan pengajaran sastra atau sebaliknya.Janganlah pengajaran sastra atau pengajaran bahasa, terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diarahkan  untuk mencetak sastrawan atau ahli bahasa / linguis.
                Kompetensi membaca dan menulis merupakan dua kompetensi pokok yang harus dimiliki oleh setiap warga negara , terutama para guru dan peserta didik kalau kita mengharapkan tumbuhnya atau berkembangnya budaya baca dan tulis dalam masyarakat kita.
                Bahasa Indonesia sebagian sarana komunikasi tidak hanya dibutuhkan oleh warga Negara Indonesia.Warga negara asing pun cukup banyak yang berminat untuk mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia di luar negeri, perkembangannya cukup menggembirakan.Oleh karena itu kongres ini diharapkan dapat memberikan masukan yang memungkinkan kita memperbaiki citra Indonesia diluar negeri.Seperti halnya beberapa negara asing, selain negara yang berbahasa Inggris mampu memperkenalkan budayanya di Indonesia melalui kursus bahasa asing yang diselenggarakan oleh negara yang bersangkutan.Oleh karena itu, pengajaran bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA) , baik didalam maupun diluar negeri perlu direncanakan atau diprogramkan secara lebih rinci.
                Dalam kaitannya dengan perdagangan bebas yang pelaksanaannya sudah makin mendesak, kita perlu menyediakan kursus-kursus BIPA yang tepat guna, untuk memungkinkan berlangsungnya alih teknologi dengan lebih cepat dan lebih lancar .
                Berdasarkan informasi yang sempat saya baca atau dengar salah satu keluhan yang sangat gencar mengenai pengajaran bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan kita ialah ketidaksesuaian alat ukur yang berupa ujian akhir nasional dengan materi yang diberikan disekolah.Hal itupun saya harapkan agar disoroti dengan cermat dalam kongres ini .

Kehidupan Berbangsa                    
                Seperti yang telah dikemukakan diatas, dalam era globalisasi seperti sekarang ini yang ditandai, antara lain oleh derasnya arus informasi mengenai teknologi dan nilai budaya asing masalah identiias bangsa merupakan salah satu topik yang perlu didiskusikan.Masalah ini bertambah rumit dengan adanya gejalah mendewakan bahasa asing.Khususnya bahasa Inggris , dan menomorduakan bahasa nasional atau bahasa negara. Oleh karena itu, politik bahasa yang kita anut ialah menempatkan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing itu  sesuai dengan  kedudukan dan fungsinya masing-masing.Dalam hubungan ini, perlu saya tegaskan bahwa tidak pernah ada larangan untuk menguasai dan menggunakan bahasa asing itu, terutama bahasa Inggris, selama penggunaannya sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Namun, yang terjadi saat ini ialah penggunaan bahasa asing yang tidak pada tempatnya atau tidak pada situasi yang tepat.
                Kita tidak boleh mengesampingkan manfaat  bahasa asing, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.Akan tetapi, perlu diingat bahwa pada saat yang sama, kita harus juga menanamkan kecintaan, kebanggaan , dan kesetiaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa daerah masing-masing.Pada sisi lain, bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi nasional juga perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pemakaian terpenuhi.Demikian pula halnya, dengan bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bagi sebagian terbesar penduduk Indonesia.Hubungan timbal balik antar ketiga bahasa itu, bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.Terutama bahasa Inggris, perlu diatur sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan dan keharmonisan dalam pengajaran dan pemakaiannya sebagai sarana komunikasi.Para pakar bahasa dan pengajaran bahasa perlu mendalami masalah tersebut agar keseimbangan dan keharmonisan itu dapat terwujud, baik pada tingkat daerah, nasional, maupun internasional.
                Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahasa Indonesia pun perlu mulai diperkenalkan diluar negeri dengan lebih terencana dan terarah agar eksistensi bangsa ini makin mantap.Dalam hubungan ini, mutu pengajaran bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing perlu ditata dengan lebih rapih.
                Dalam kaitannya dengan bahasa daerah, khususnya bahasa ibu, perlu diteliti dengan lebih seksama agar penetapannya sebagai bahasa pengantar atau mata pelajaran di Sekolah Dasar memberikan manfaat seprti yang diharapkan.Sebagaimana diketahui, hasil penelitian UNESCO menunjukkan bahwa pendidikan yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar lebih berhasil jika dibandingkn dengan pendidikan yang tidak menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar.Sementara itu, hasil penelitian dalam negeri mengisyaratkan adanya generasi yang tidak menguasai bahasa ibunya dengan baik.
                Program pemberantasan buta bahasa Indonesia tampaknya sampai saat ini belum berhasil dengan memuaskan dan penguasaan bahasa Indonesia para lulusan pendidikan menengah keatas sering dikeluhkan oleh pengguna jasa mereka, termasuk dosen di perguruan tinggi.
                Akhir-akhir ini kita sering dikejutkan oleh adanya gerakan saparatis yang sangat menggangu kestabilan dalam negeri.Jika kenyataan ini bersumber dari kurang tebalnya rasa kebangsaan, pendidikan nasional melalui pengajaran bahasa Indonesia mungkin dapat berperan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hal tersebut.
                Dalam kehidupan berbangsa kita pasti perlu berkomunikasi, baik antarwarga maupun antar warga masyarakat dengan pemerintah.Kalau kita tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, mungkinkah kita dapat memenuhi atau melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan peundang-undangan yang berlaku? Apa manfaat media massa baik cetak maupun elektronik, yang demikian banyak kalau kita tidak mahir berbahasa Indonesia? Bagaimanakah nasib setiap suatu negara yang asing dengan kehidupan sastra? Bukankah mutu kesastraan suatu bangsa juga menggambarkan tingkat peradaban bangsa itu?
                Semoga pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat merangsang kita semua untuk memikirkan jawaban yang tepat guna menyusun langkah-langkah yang diperlukan dalam mengatasi persoalan atau tantangan yang kita hadapi.Terima kasih.

                                      DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Asim, 2000. Kedudukan dan fungsi bahasa asing di Indonesia didalam era globalisasi”.Dalam Hasan Alwi,dkk.Bahasa Indonesia dalam era globalisasi,pemantapan peran bahasa sebagai sarana  pembangunan bangsa.Jakarta:Pusat Bahasa.

Moeliono, Anton M.2000.”Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam era globalisasi”.Dalam Hasan Alwi dkk.Bahasa Indonesia sarana pembangunan bangsa.Jakarta:Pusat Bahasa.

Sudarsono, Juwono.2000.”Laporan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada acara pembukaan kongres bahasa Indonesia VII di istana Negara”.Dalam Hasan Alwi dkk.Bahasa Indonesia dalam era globalisasi: pemantapan peran bahasa sebagai sarana pembangunan bangsa.Jakarta:Pusat Bahasa.

Sudarsono, Juwono.2000.”Kebinekaan Bahasa, Pembangunan Bangsa, dan Era Globalisasi.

Huda, Nuril.2000.”Kedudukan dan Fungsi Bahasa Asing”.Dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono(editor).Politik Bahasa.Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Politik Bahasa Nasional: Departemen Pendidikan Nasional.

Rabu, 28 Januari 2015

Jumat, 16 Januari 2015

Kamis, 15 Januari 2015